MUQADDDIMAH
Segala
puji hanya milik Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya serta orang yang berwala’
kepadanya. Amma ba’du.
Ini adalah kajian singkat yang
menjelaskan tentang beberapa indikasi destruktif dan bahaya yang
ditimbulkan akibat terjun dan berkiprah dalam kancah demokrasi yang
banyak orang tertipu dengannya dan menggantungkan harapan mereka
kepadanya meskipun hal ini jelas-jelas bertentangan dengan manhaj Allah
sebagaimana yang akan dijelaskan dalam kajian yang singkat ini, apalagi
banyak sudah pengalaman pahit yang didapat oleh orang yang tertipu
dengan permainan ini dan ditampakkan sisi penyimpangan dan kesesatannya.
50 Indikasi Destruktif Demokrasi
Dengan
memohon taufiq kepada Allah, kami berusaha memaparkan beberapa indikasi
destruktif (kerusakan) demokrasi, pemilihan umum dan berpartai:
1.
Demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya berupa partai-partai dan
pemilihan umum merupakan manhaj jahiliyah yang bertentangan dengan
Islam, maka tidak mungkin sistem ini dipadukan dengan Islam karena Islam
adalah cahaya sedangkan demokrasi adalah kegelapan.
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidak (pula) kegelapan dengan cahaya.” (Surat Faathir:19-20)
Islam adalah hidayah dan petunjuk sedangkan demokrasi adalah penyimpangan dan kesesatan.
“Sungguh telas jelas petunjuk daripada kesesatan.” (Surat Al-Baqarah: 256)
Islam
adalah manhaj rabbani yang bersumber dari langit sedangkan demokrasi
adalah produk buatan manusia dari bumi. Sangat jauh perbedaan antara
keduanya.
2. Terjun ke dalam kancah
demokrasi mengandung unsur ketaatan kepada orang-orang kafir baik itu
orang Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, padahal kita telah dilarang
untuk menaati mereka dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka, sebagaimana hal ini telah diketahui secara lugas dan gamblang dalam dien.
Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman jika kalian menaati sekelompok orang-orang
yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi
orang kafir setelah kamu beriman.” (Surat Ali ‘Imran: 100)
“Karena
itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (Surat
Al-Furqaan: 52)
“Dan janganlah kamu menaati orang-orang
yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan
gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah
sebagai pelindung(mu).” (Surat Al-Ahzaab: 48)
Dan ayat-ayat yang senada dengan ini sangat banyak dan telah menjadi maklum.
3.
Sistem demokrasi memisahkan antara dien dan kehidupan, yakni dengan
mengesampingkan syari’at Allah dari berbagai lini kehidupan dan
menyandarkan hukum kepada rakyat agar mereka dapat menyalurkan hak
demokrasi mereka –seperti yang mereka katakan– melalui kotak-kotak
pemilu atau melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Perwakilan.
4.
Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq,
karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap
pemeluk agama, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah
partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang
menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan
pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, “Sesungguhnya sistem
demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan yang
telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang
lalu,” sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan
(ironisnya) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam
yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan:
“Sesungguhnya
demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami
untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik.”
5.
Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme
(menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain
musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan hal-hal
lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi yang
populer,”Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja
ia mau,” juga di bawah semboyan “menjaga kebebasan individu.”
6.
Sistem demokrasi membuka pintu perpecahan dan perselisihan, mendukung
program-program kolonialisme yang bertujuan memecah-belah dunia Islam ke
dalam sukuisme, nasionalisme, negara-negara kecil, fanatisme golongan
dan kepartaian. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan
sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang
satu, dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku.” (Surat
Al-Mukminun: 52)
Juga bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (dien) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Surat Ali ‘Imran: 103)
Dan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu gagal dan hilang kekuatanmu.” (Surat Al-Anfal: 46)
7.
Sesungguhnya orang yang bergelut dengan sistem demokrasi harus mengakui
institusi-institusi dan prinsip-prinsip kekafiran, seperti piagam PBB,
deklarasi Dewan Keamanan, undang-undang kepartaian dan ikatan-ikatan
lainnya yang menyelisihi syari’at Islam. Jika ia tidak mau mengakuinya,
maka ia dilarang untuk melaksanakan aktivitas kepartaiannya dan dituduh
sebagai seorang ekstrim dan teroris, tidak mendukung terciptanya
perdamaian dunia dan kehidupan yang aman.
8. Sistem demokrasi memvakumkan hukum-hukum syar’i seperti jihad, hisbah, amar ma’ruf nahi munkar, hukum terhadap orang yang murtad, pembayaran jizyah, perbudakan dan hukum-hukum lainnya.
9.
Orang-orang murtad dan munafiq dalam naungan sistem demokrasi
dikategorikan ke dalam warga negara yang potensial, baik dan mukhlis,
padahal dalam tinjauan syar’i mereka tidak seperti itu.
10. Demokrasi dan pemilu bertumpu kepada suara mayoritas tanpa tolak ukur yang syar’i.
Sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan
jika kamu mentaati kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Surat Al-An’am: 116)
“Akan tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahui.” (Surat Al-A’raf: 187)
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Surat Saba’: 13)
11.
Sistem ini membuat kita lengah akan tabiat pergolakan antara jahiliyah
dan Islam, antara haq dan batil, karena keberadaan salah satu di antara
keduanya mengharuskan lenyapnya yang lain, selamanya tidak mungkin keduanya
akan bersatu. Barangsiapa mengira bahwa dengan melalui pemilihan umum
fraksi-fraksi jahiliyah akan menyerahkan semua institusi-institusi
mereka kepada Islam, ini jelas bertentangan dengan rasio, nash dan sunah
(keputusan Allah) yang telah berlaku atas umat-umat terdahulu.
“Tiadalah
yang mereka nanti melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah
berlaku) atas orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak
akan mendapati perubahan bagi sunnatullah dan sekali-kali tidak (pula)
akan mendapati perpindahan bagi sunnatullah itu.” (Surat Faathir: 43)
12.
Sistem demokrasi ini akan menyebabkan terkikisnya nilai-nilai aqidah
yang benar yang diyakini dan diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia, akan menyebabkan
tersebarnya bid’ah, tidak dipelajari dan disebarkannya aqidah yang benar
ini kepada manusia, karena ajaran-ajarannya menyebabkan terjadi
perpecahan di kalangan anggota partai, bahkan dapat menyebabkan
seseorang keluar dari partai tersebut sehingga dapat mengurangi jumlah
perolehan suara dan pemilihnya.
13. Sistem
demokrasi tidak membedakan antara orang yang alim dengan orang yang
jahil, antara orang yang mukmin dengan orang kafir, dan antara laki-laki
dengan perempuan, karena mereka semuanya memiliki hak suara yang sama,
tanpa dilihat kelebihannya dari sisi syar’i. padahal Allah Ta’ala
berfirman:
“Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Surat Az-Zumar: 9)
“Maka apakahorang yang beriman itu sama seperti orang yang fasiq? Mereka tidaklah sama.” (Surat As-Sajdah: 18)
“Maka
apakah Kami patut menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu berbuat demikian,
bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Surat Al-Qalam: 35-36)
“Dan anak laki-laki (yang ia nadzarkan itu) tidaklah seperti anak perempuan (yang ia lahirkan).” (Surat Ali Imran: 38)
14.
Sistem ini menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan para aktivis
dakwah dan jamaah-jamaah Islamiyah, karena terjun dan berkiprahnya
sebagian dari mereka ke dalam sistem ini (mau tidak mau) akan membuat
mereka mendukung dan membelanya serta berusaha untuk mengharumkan nama
baiknya yang pada gilirannya akan memusuhi siapa yang dimusuhi oleh
sistem ini dan mendukung serta membela siapa yang didukung dan dibela
oleh sistem ini, maka ujung-ujungnya fatwa pun akan simpang-siur tidak
memiliki kepastian antara yang membolehkan dan yang melarang, antara
yang memuji dan yang mencela.
15. Di bawah
naungan sistem demokrasi permasalahan wala’ dan bara’ menjadi tidak
jelas dan samar, oleh karenanya ada sebagian orang yang berkecimpung
dan menggeluti sistem ini menegaskan bahwa perselisihan mereka dengan
partai sosialis, partai baath dan partai-partai sekuler lainnya hanya
sebatas perselisihan di bidang program saja bukan perselisihan di bidang
manhaj dan tak lain seperti perselisihan yang terjadi antara empat
madzhab, dan mereka mengadakan ikatan perjanjian dan konfederasi untuk
tidak mengkafirkan satu sama lain dan tidak mengkhianati satu sama lain,
oleh karenanya mereka mengatakan adanya perselisihan jangan sampai
merusakkan kasih sayang antar sesama!!
16. Sistem ini akan mengarah pada tegaknya konfederasi semu dengan partai-partai sekuler, sebagai telah terjadi pada hari ini.
17.
Sangat dominan bagi orang yang berkiprah dalam kancah demokrasi akan
rusak niatnya, karena setiap partai berusaha dan berambisi untuk membela
partainya serta memanfaatkan semua fasilitas dan sarana yang ada untuk
menghimpun dan menggalang massa yang ada di sekitarnya, khususnya sarana
yang bernuansa religius seperti ceramah, pemberian nasehat, ta’lim,
shadaqah dan lain-lain.
18. (Terjun ke dalam
kancah demokrasi) juga akan mengakibatkan rusaknya nilai-nilai akhlaq
yang mulia seperti kejujuran, transparansi (keterusterangan) dan
memenuhi janji, dan menjamurnya kedustaan, berpura-pura (basa-basi) dan
ingkar janji.
19. Demikian pula akan melahirkan
sifat sombong dan meremehkan orang lain serta bangga dengan pendapatnya
masing-masing karena yang menjadi ini permasalahan adalah
mempertahankan pendapat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing).” (Surat Al-Mukminun: 53)
20.
Kalau kita mau mencermati dan meneliti dengan seksama, berikrar dan
mengakui demokrasi berarti menikam (menghujat) para Rasul dan risalah
(misi kerasulan) mereka, karena al-haq (kebenaran) kalau diketahui
melalui suara yang terbanyak dari rakyat, maka tidak ada artinya
diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab, apalagi biasanya
ajaran yang dibawa oleh para Rasul banyak menyelisihi mayoritas manusia
yang menganut aqidah yang sesat dan menyimpang dan memiliki
tradisi-tradisi jahiliyah.
21. Sistem
demokrasi membuka pintu keraguan dan syubhat serta menggoncangkan aqidah
umat Islam, terlebih lagi kita hidup di masa dimana ulama robbaninya
sangat sedikit sedang kebodohan tersebar dimana-mana. Maka lantaran
terbatasnya ilmu, banyak orang-orang awam yang jiwanya down dan goncang
dalam menghadapi gelombang besar dan arus deras dari berbagai partai,
surat kabar, dan pemikiran-pemikiran yang destruktif.
22.
Melalui dewan-dewan perwakilan dapat diketahui bahwa sesungguhnya
sistem demokrasi berdiri di atas asas tidak mengakui adanya Al-Hakimiyah
Lillah (hak pemilikian hukum bagi Allah), maka terjun ke dalam sistem
demokrasi kalau bertujuan untuk menegakkan argumen-argumen dari Al-Quran
dan Sunnah maka hal ini tidak mungkin diterima oleh anggota dewan
karena yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah suara mayoritas dan
andapun mau tidak mau harus mengakui suara mayoritas tersebut, maka
bagaimana anda akan menegakkan hujjah dengan Al-Quran dan Sunnah
sedangkan mereka tidak mengakui keduanya. Meskipun anda menguatkan
(argumen anda) dengan berbagai dalil-dalil syar’i maka dalam pandangan
mereka hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat anda saja, bagi mereka
dalil-dalil tersebut tidak memiliki nilai sakral sedikitpun karena
mereka menginginkan –seperti yang mereka katakan– untuk membebaskan diri
dari hukum ghaib yang tidak bersumber dari suara mayoritas dan pertama
kali yang mereka tentang adalah hukum Allah dan Rasul-Nya. Maka
pengakuan anda terhadap prinsip thaghut ini –yakni kebijakan hukum di
tangan suara mayoritas dan pengakuan anda akan hal itu demi memenuhi
tuntutan massamu– berarti meruntuhkan prinsip “hak pemilikan dan
penentuan hukum mutlaq bagi Allah semata.” Dan manakala anda menyepakati
bahwa suara mayoritas merupakan hujjah yang dapat menyelesaikan
perselisihan maka tidak ada gunanya lagi anda membaca Al-Quran dan
hadits karena keduanya bukan hujjah yang disepakati di antara kalian.
23.
Kita tanyakan kepada para aktivis dakwah yang tertipu dengan sistem
ini: Jika kalian sudah sampai pada tampuk kekuasaan apakah kalian akan
menghapuskan demokrasi dan melarang eksisnya partai-partai sekuler?
Padahal
kalian telah sepakat dengan partai-partai lain sesuai dengan
undang-undang kepartaian bahwa pemerintahan akan dilaksanakan secara
demokrasi dengan memberi kesempatan kepada seluruh partai untuk
berpartisipasi aktif. Jika kalian mengatakan bahwa sistem demokrasi ini
akan dihapus dan partai-partai sekuler dilarang untuk eksis berarti
kalian berkhianat dan mengingkari perjanjian kalian merkipun perjanjian
tersebut (pada hakekatnya) adalah bathil. Sedangkan Allah Ta’ala telah
berfirman:
“Dan jika kamu mengetahui pengkhianatan dari
suatu kaum (golongan), maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka
dengan cara yang jujur, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berkhianat.” (Surat Al-Anfal: 58)
Dan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Akan ditancapkan
sebuah bendera bagi setiap orang yang ingkar pada hari kiamat kelak.”
(HR. Bukhary)
Adapun hadits yang menyatakan bahwa
perang itu adalah tipu daya, tidak termasuk dalam pembahasan ini. Dan
jika kalian mengatakan kami akan menegakkan hukum demokrasi dan
mentolerir berdirinya partai-partai berarti ini bukanlah pemerintahan
yang Islami.
24. Sistem demokrasi bertentangan
dengan prinsip taghyir (perubahan) dalam Islam yang dimulai dari
mencabut segala yang berbau jahiliyah dari akar-akarnya lalu mengishlah
(memperbaiki) jiwa-jiwa manusia.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada diri mereka sendiri.” (Surat Ar-Ra’du: 11)
Maka prinsip perbaikan ekonomi, politik dan sosial adalah mengikuti perbaikan jiwa manusia-manusianya, bukan sebaliknya.
25.
Sistem ini bertentangan dengan nash-nash yang qath’i yang mengharamkan
menyerupai orang-orang kafir baik dalam akhlaq, gaya hidup, tradisi
ataupun sistem dan perundang-undangan mereka.
26.
Dan yang sangat membahayakan, sistem demokrasi dan pemilu dapat
mengestablishkan (mengukuhkan posisi) orang-orang kafir dan munafiq
untuk memegang kendali kekuasaan atas kaum muslimin –dengan cara yang
syar’i– menurut perkiraan sebagian orang-orang yang jahil. Padahal Allah
Ta’ala telah berfirman:
“Janji-Ku (untuk menjadikan
keturunan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin) ini tidak mengenai orang-orang
dzalim.” (Surat Al-Baqarah: 124)
“Dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Surat An-Nisaa’: 141)
Berapa
banyak orang-orang muslim yang awam tertipu dengan sistem seperti ini
sehingga mereka mengira bahwa pemilu adalah cara yang syar’i untuk
memilih seorang pemimpin!!
27. Demokrasi
mengaburkan dan meruntuhkan pengertian syura yang benar, karena minimal
syura itu berbeda dengan demokrasi dalam tiga prinsip dasar:
a. Dalam sistem syura, sebagai pembuat dan penentu hukum adalah Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Menetapkan hukum itu adalah hak Allah.” (Surat Al-An’am: 57)
Sedangkan
demokrasi tidak seperti itu karena penentu hukum dan kebijaksanaan
berada pada selain Allah (yakni di tangan suara mayoritas).
b. Syura dalam Islam hanya diterapkan dalam masalah-masalah ijtihadi yang tidak ada nashnya ataupun ijma’, sedangkan demokrasi tidaklah demikian.
c.
Syura dalam Islam hanya terbatas dilakukan oleh orang-orang yang
termasuk dalam Ahlu’l-Halli wa’l-Aqdi, orang-orang yang berpengalaman
dan mempunyai spesifikasi tertentu, sedangkan demokrasi tidak seperti
itu sebagaimana telah dijelaskan pada point terdahulu.
28. Terjun
ke dalam kancah demokrasi akan dihadapkan pada perkara-perkara kufur
dan menghujat syariat Allah, mengolok-oloknya dan mencemooh orang-orang
yang berusaha untuk menegakkannya, karena setiap kali dijelaskan kepada
mereka bahwa hukum yang mereka buat bertentangan dengan ajaran Islam,
mereka akan mencemooh syariat Islam yang bertentangan dengan
undang-undang mereka dan mencemooh orang-orang yang berusaha untuk
memperjuangkannya. Maka menutup erat-erat pintu yang menuju ke sana
dalam hal ini sangat diperlukan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu sangat bermanfaat.” (Surat Al-A’la: 9)
“Dan
janganlah kamu memaki-maki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan.” (Surat Al-An’am:108)
29.
Masuk ke dalam kancah demokrasi dapat menyingkap data-data tentang
harakah Islamiyah dan sejauh mana peran dan pengaruhnya terhadap rakyat
yang pada gilirannya harakah tersebut akan dihabisi dan dimusnahkan sampai ke markasnya. Maka jelas hal ini sangat merugikan dan membahayakan sekali.
30.
Demokrasi akan membuat harakah Islamiyah dikendalikan oleh orang-orang
yang tidak kufu’ (yang tidak memiliki pengetahunan dan pemahaman tentang
Dien yang cukup), karena yang menjadi pemimpin harus sesuai dengan
hasil partai dalam sistem kerja maupun pelaksanaan programnya harus
sesuai dengan asas pemilu.
31. Dari hasil
kajian dan pemantauan langsung di lapangan telah terbukti gagal dan
tidak ada manfaatnya sistem ini, di mana banyak para aktivis dakwah di
pelbagai negara seperti Mesir, Aljazair, Tunisia, Yordania, Yaman, dan
lain-lain yang telah ikut berperan dalam pentas demokrasi ini, namun
hasilnya sama-sama telah diketahui “hanya sekedar mimpi dan fatamorgana” sampai kapan kita masih akan tertipu?
32.
Orang yang mau memperhatikan dan mencermati akan tahu bahwa sistem
demokrasi akan menyimpangkan alur shahwah Islamiyah (kebangkitan Islam)
dari garis perjalanannya, melalaikan akan tujuan dasarnya dan juga akan
menjurus kepada perubahan total yang mendasar dan menyeluruh, yang hanya
bertumpu pada prediksi dan khayalan belaka.
33.
(Diberlakukannya sistem demokrasi) berarti menafikan peran ulama dan
menghilangkan kedudukan mereka di mata masyarakat padahal merekalah yang
memiliki ilmu dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, karena mereka
sudah tidak lagi ditaati dan dijadikan sebagai pemimpin lantaran
kebijaksanaan hukum berada di tangan mayoritas.
34.
Sistem demokrasi memupuskan minat dan semangat untuk mendalami ilmu
syar’i dan tafaqquh fi’d-dien dan menyibukkan manusia dalam hal-hal yang
tidak bermanfaat.
35. Sistem demokrasi
menyebabkan terhentinya ijtihad, karena tidak ada istilah mujtahid dan
muqollid dalam barometer demokrasi, semuanya adalah mujtahid tanpa perlu
memiliki perangkat ijtihad atau melihat kepada dalil-dalil syar’i.
36.
Sistem ini dapat menyebabkan hancur dan binasanya harakah Islamiyah,
karena sering kali harakah-harakah ini bertikai dan berkonfrontasi
dengan orang-orang yang menyelisihi mereka tanpa mempunyai kemampuan dan
persiapan untuk menghadapi musuh.
37. Menurut
sebagian aktivis dakwah, tujuan mereka masuk ke dalam sistem ini adalah
untuk menegakkan hukum Allah. Padahal mereka tidak akan mewujudkannya
kecuali dengan mengakui bahwa rakyat adalah sebagai penentu dan pembuat
hukum, ini berarti ia telah menghancurkan tujuan (yang ingin dicapainya)
dengan sarana yang dipergunakannya.
38.
Demokrasi adalah sebuah sistem yang menipu rakyat pada hari ini, dengan
propagandanya hukum berada di tangan rakyat dan rakyatlah sebagai
pemegang keputusan, padahal pada hakekatnya tidaklah demikian.
39.
Demokrasi menyita dan menghabiskan waktu dan tenaga para ulama dan
aktivis dakwah, dan membuat mereka lalai dari membina umat dan dari
berkonsentrasi untuk mengajarkan dienul Islam kepada manusia.
40.
Dalam sistem demokrasi kekuasaan dibatasi sampai pada masa tertentu,
jika masanya telah berakhir maka ia harus turun untuk digantikan dengan
yang lainnya., kalau tidak maka akan terjadi pertikaian dan peperangan, padahal
bisa jadi sebenarnya dialah yang paling berhak (karena memiliki
kemampuan dan kecakapan yang memenuhi persyaratan sebagai seorang
pemimpin) namun karena masa jabatannya telah habis ia diganti oleh orang
lain yang tidak memiliki kemampuan seperti dirinya. Maka hal ini akan
membuka pintu fitnah dan sikap membelot dari penguasa yang sah, padahal
telah diketahui bahwa keluar (membelot) dari penguasa itu tidak boleh
kecuali jika penguasa tersebut terlihat melakukan kekafiran yang nyata
dan pembelotannya dapat mewujudkan kemaslahatan yang berarti serta
memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut.
41.
Dewan-dewan perwakilan adalah dewan-dewan thaghut yang tidak dapat
dipercaya untuk mengakui bahwa pemilik dan penentu hukum secara mutlaq
adalah Allah, maka tidak boleh duduk bersama mereka di bawah payung
demokrasi, karena Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan
sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Quran, bahwa
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan dicemoohkan (oleh
orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sehingga
mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu
berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah
akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam.” (Surat An-Nisaa’: 140)
“Dan
apabila kamu melihat orang-orang menghina ayat-ayat Kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain
dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah
kamu duduk lagi bersama orang-orang yang dzalim itu sesuadah teringat
(akan larangan itu).” (Surat Al-An’am: 68)
42.
Demokrasi pada hakekatnya menikam (menghujat) Allah serta melecehkan
hikmah dan syariat-Nya. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pertama,
kita katakan sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul dan
mewajibkan manusia untuk menaati mereka, mengancam orang yang tidak taat
dengan neraka dan kebinasaan, menurunkan kitab-kitab suci sebagai
pemutus perkara di antara manusia. Dia menghalalkan dan mengharamkan,
mewajibkan, memakruhkan dan mensunnahkan, memuji dan mencela,
menghinakan dan memuliakan, mengangkat suatu kaum dan menjatuhkan kaum
yang lain tanpa memandang dan melihat kondisi dan keadaan yang
menyelisihi ajaran para Rasul. Bahkan ketika para Rasul tersebut datang,
mayoritas manusia –kalau kita tidak mengatakan semuanya— dalam
kesesatan dan dalam kungkungan kejahiliyahan yang membabi buta. Maka
sekiranya demokrasi dan hak membuat dan memutuskan hukum yang berada di
tangan rakyat itu benar, berarti semua perbuatan yang telah dilakukan
Allah ini sia-sia belaka. Maha Suci Allah atas semua hal ini.
Kedua,
kita katakan sekiranya demokrasi itu haq (benar), niscaya diturunkannya
kitab-kitab suci dan diutusnya para Rasul merupakan tindakan
semena-mena dan dzalim serta berbenturan dengan pendapat dan hak manusia
untuk menghukumi mereka dengan hukum mereka sendiri. Maha Suci Allah
dari segala bentuk kedzaliman.
Ketiga, sekiranya
demokrasi itu haq, niscaya hukum tentang jihad dan tumpahnya darah
orang-orang kafir yang menentang Islam serta hukum membayar jizyah dan
perbudakan adalah tindak kedzaliman bagi mereka dan bertentangan
dengan pendapat-pendapat mereka yang destruktif. Sikap seperti ini
berarti menghujat syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sisi
lain, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya pengusiran iblis dari surga,
pembinasaan kaum Nabi Nuh, ditenggelamkannya Fir’aun dan pasukannya
serta kebinasaan yang menimpa kaum Nabi Hud, Shalih, Syu’aib, dan Luth,
ini semua merupakan tindak kedzaliman atas mereka karena Allah mengadzab
mereka lantaran pemikiran-pemikiran dan aqidah mereka yang destruktif.
Sisi
lain, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya hukuman rajam terhadap orang
yang berzina dan hukuman cambuk terhadap orang yang minum arak
merupakan tindak kekerasan dan kekejaman, dan mengusik kebebasan
individu seperti dikatakan oleh orang-orang dzalim.
“Alangkah
busuknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak
mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Surat Al-Kahfi: 5)
43.
Di bawah naungan sistem demokrasi berbagai bid’ah dan kesesatan dengan
berbagai macam pola tumbuh subur dan orang-orang yang menyerukannya dari
berbagai thoriqot dan firqoh seperti Syiah, Rafidlah, Sufiah,
Mu’tazilah, Kebatinan, dan lain-lainnya pun bermunculan. Bahkan di bawah
naungan sistem ini mereka mendapatkan dukungan dan dorongan dari
orang-orang munafik yang berada di dalamnya dan juga dari
kekuatan-kekuatan yang terselubung dari pihak luar. Dan Allah tetap
memiliki urusan terhadap makhluk-makhluk ciptaan-Nya.
44.
Sebaliknya bertubi-tubi tuduhan dan dakwaan yang ditujukan kepada para
aktivis dakwah dengan menjelekkan citra mereka di mata masyarakat umum
sehingga mereka dijuluki sebagai pencari kedudukan, harta dan jabatan,
dan mereka juga dijuluki sebagai penjilat dan masih banyak lagi
julukan-julukan dusta lainnya sebagai akibat diberlakukannya asas bebas
berbicara dan mengeluarkan pendapat serta menghujat harga diri orang
lain.
45. Orang yang berada di dalam sistem
ini dipaksa untuk bergabung dalam satu barisan bersama partai-partai
murtad dan zindiq dalam mempertahankan prinsip-prinsip jahiliyah seperti
deklarasi-deklarasi internasional, kebebasan pers, kebebasan berpikir,
kebebasan etnis Arab,
46. Sistem ini akan
mengakibatkan hancurnya perekonomian dan disia-siakannya harta rakyat,
karena anggaran belanja negara akan dialokasikan oleh partai-partai
berkuasa demi memenuhi ambisi mereka dengan membangun gedung-gedung dan
menjalankan kampanye pemilihan umum sesuai dengan yang mereka rencanakan
dan agar partai-partai tersebut dapat mewujudkan pembelian dukungan
(penggalangan dan pengumpulan massa) dengan iming-iming materi yang
menggiurkan.
47. Sistem ini memadukan antara haq dan bathil, jahiliyah dan Islam, serta antara ilmu dan kebodohan.
48.
Demokrasi mencabik-cabik jati diri umat Islam dan menjatuhkan
kewibawaan mereka melalui penghujatan atas syari’at dan tuduhan bahwa
syari’at tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman, juga
melalui pengebirian sejarah dan hukum Islam dan mengilustrasikan bahwa
Islam itu diktator tidak seperti demokrasi. Di samping itu demokrasi
berarti meleburkan umat Islam secara membabi buta ke dalam satu wadah
bersama orang-orang barat dari golongan Yahudi dan Nasrani yang memendam dendam kesumat kepada umat Islam.
49.
Sistem ini akan membuat labilnya keamanan suatu negeri dan terjadinya
persaingan antar partai yang tidak berujung pangkal, maka manakala
sistem ini diterapkan di suatu negara, niscaya akan tersebar rasa takut,
cemas, persaingan antar penganut aqidah, aliran, fanatisme golongan dan
keturunan, sikap oportunis dan bentuk-bentuk persaingan tidak sehat
lainnya.
50. Kalaupun ada kemaslahatan yang
dapat dipetik dari berkiprah dalam demokrasi dan pemilihan umum,
kemaslahatan ini masih bersifat parsial dan masih samar jika
dibandingkan dengan sebagian kerusakan besar yang ditimbulkannya apalagi
jika dibandingkan dengan keseluruhannya. Dan orang yang mengamati
secara obyektif atas sebagian yang telah disebutkan akan menjadi jelas
baginya ketimpangan sistem thoghut ini dan jauhnya dari dienullah bahkan
sesungguhnya demokrasi adalah aliran dan sistem yang paling berbahaya
yang dipraktekkan di dunia saat ini, ia merupakan induk kekafiran,
dimana memungkinkan setiap aliran dan agama baik itu Yahudi, Nasrani,
Majusi, Budha, Hindu dan Islam untuk hidup di bawah naungannya. Dalam
barometer demokrasi semua pendapat mereka dihargai dan didengar, mereka
berhak untuk mempraktekkan dan mengamalkan aqidah mereka dengan seluruh
sarana dan fasilitas yang ada. Cukuplah hal ini sebagai tanda zindiq dan
keluar dari dien Islam, maka bagaimana mungkin setelah ini dikatakan
sesungguhnya demokrasi itu sesuai dengan Islam atau Islam itu adalah
sistem demokrasi atau demokrasi itu adalah syura sebagaimana dikatakan
oleh sejumlah orang yang menggembar-gemborkan sistem ini sebagai sistem
Islam.
PENUTUP
Akhirnya
kami mengharap dari setiap saudara yang berambisi untuk memperjuangkan
Dienullah untuk benar-benar mencermati serta mengkaji kembali
kerusakan-kerusakan ini, dan melihat kepadanya secara obyektif jauh dari
fanatik individu, badan, atau institusi tertentu karena kebenaran itu
lebih berhak untuk diikuti dan hikmah merupakan barang orang mu’min yang
hilang dimanapun ia mendapatkannya maka ia berhak atasnya. Kami memohon
kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi dengan nama-nama-Nya yang
baik dan sifat-sifat-Nya yang agung agar menyatukan hati-hati kaum
muslimin di atas ketaatan kepada-Nya dan menyatukan barisan mereka di atas Al-Haq dan ittiba’ (mengikuti tuntunan dan garis perjuangan yang telah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam). Karena Dialah Yang Maha
Kuasa atas hal tersebut. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada
penutup para Nabi dan Rasul Nabi kita Muhammad, segenap keluarganya,
sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang meniti jejaknya dan mengikuti
sunnahnya sampai hari kiamat.
Bardasarkan 50 hal-hal tentang kerusakan Demokrasi, Pemilu dan
Berpartai diatas, nampaknya kurang lengkap kalau kita tidak menyentuh
essensinya Demokrasi, yakni dengan istilah :
1. "Dari
Rakyat, Kepada Rakyat, Untuk Rakyat" sesungguhnya ini merupakan tipu
muslihat dari ideologi DEMOKRASI, dimana yang sebenarnya yakni
"Dari Partai, Kepada Partai, Untuk Partai". Sebab
dimana seorang kader partai yang naik ke kursi kekuasaan maka dia
dengan sendirinya membawa kepentingan partainya maka dapat kita kenal
dengan "partai yang berkuasa" di tengah masyarakat, serta membawa misi
untuk melanggengkan partainya untuk berkuasa, serta pula seorang kader
tersebut namanya besar berkat dari kaderisasi partai tersebut. Yang
menentukan nasib rakyat bukan mereka yang duduk di kursi kekuasaan tapi
Ketua Umum partainya, para fraksinya maupun orang-orang yang besar
(investasi lokal maupun asing).
2. Setiap Rakyat dapat dipilih atau memilih, lebih tegasnya "setiap orang berhak memilih
(ini sudah dibahas
diatas sebelumnya)
dan "setiap orang berhak untuk mengcalonkan/mengajukan diri menjadi
pemimpin" silahkan disimak berbagai dalil syariat sebagai berikut
(Pandangan Islam Tentang Ambisi Menjadi Pemimpin):
Rasulullah
SAW bersabda: 'Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan jabatan kepada
orang yang meminta dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap untuk
diangkat'. (HR. Bukhari dan Muslim).
Senada
dengan hadits diatas, Nabi Muhammad SAW berkata kepada Abdur Rahman Ibnu
Samurah ra.: 'Wahai Abdur Rahman, Janganlah engkau meminta untuk
diangkat menjadi pemimpin. Sebab, jika engkau menjadi pemimpin karena
permintaanmu sendiri, tanggung jawabmu akan besar sekali. Dan jika
engkau diangkat tanpa permintaanmu sendiri engkau akan ditolong orang
dalam tugasmu.' (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam
riwayat lain dijelaskan, Abu Dzar ra. Pernah berkata: 'Aku bertanya
kepada Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak hendak
mengangkatku memegang suatu jabatan?' Rasulullah SAW menepuk bahuku dan
berkata: 'Wahai Abu Dzar, engkau ini lemah sedangkan jabatan itu amanah
yang pada hari kiamat kelak harus dipertanggung jawabkan dengan resiko
penuh penghinaan dan penyesalan, kecuali orang yang memenuhi syarat dan
dapat memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik'. (HR.
Muslim)
Dari keterangan-keterangan hadits di
atas, maka dapat disimpulkan, mengajukan diri untuk diangkat menjadi
pemimpin adalah sesuatu yang tercela apalagi tidak dibarengi dengan
kelayakan diri menjadi pemimpin. Namun sebaliknya, apabila seseorang
diangkat menjadi pemimpin karena dukungan atau permintaan umat, memenuhi
syarat dan mampu menjalankan tugas dengan amanah maka yang seperti ini
tidaklah tercela. Jika Islam memandang, berharap atau meminta diangkat
menjadi pemimpin atau pejabat itu tercela, lalu bagaimana dengan apa
yang pernah dilakukan Nabi Yusuf AS. yang meminta jabatan dan
menonjolkan dirinya agar diberikan jabatan itu? Sebagaimana dikisahkan
dalam Al Quran: 'Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir).
Sesungguhnya aku pandai menjaga lagi berpengetahuan.' (Q.S. Yusuf: 55).
Sebagaimana
yang disebutkan dalam Al Quran: '(Di antara sifat hamba Allah yang
mendapatkan kemulian) adalah orang-orang yang berkata: Wahai Tuhan kami
anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai
penyenang hati dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang
bertaqwa.' (Q.S. al-Furqan : 75).
Nabi Yusuf AS
meminta dan menonjolkan dirinya untuk diangkat menjadi pemimpin
(sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Yusuf: 55) karena ia melihat tidak
ada orang yang teguh memperjuangkan kebenaran dan mengajak umat kepada
kebenaran. Dan ia merasa mampu untuk itu, namun ia belum dikenal. Oleh
karena itu, ia perlu meminta dan menonjolkan dirinya. Demikian
pula permohonan seorang muslim kepada Allah SWT untuk diangkat menjadi
imam (pemimpin) tidaklah tercela dan terlarang. Karena hal itu merupakan
doanya kepada Allah SWT, yang dilarang adalah permohonan kepada
manusia.
Berdasarkan keterangan diatas terdapat beberapa ketentuan dari deskripsi di atas, antara lain adalah:
Pertama,
pada prinsipnya berambisi menjadi pemimpin dengan memintanya kepada
makhluk adalah sikap yang tercela dalam Islam. Sebab, orang yang meminta
pada dasarnya punya latar belakang. Sebagaimana analisis Dr. Sayyid
Muhammad Nuh dalam bukunya 'Afatun 'Ala ath-Thariq, paling tidak ada
beberapa faktor yang mendorong seseorang berambisi menjadi pemimpin,
yaitu: Ingin menguasai dan mengendalikan orang lain, menginginkan materi
dunia, tidak sadar akan konsekuensi kelengahan pemimpin, tidak
menyadari risiko yang ditanggung seorang pemimpin dan suka merendahkan
orang lain.
Kedua, diperbolehkan apabila umat Islam yang menghendakinya agar seseorang maju menjadi pemimpin.
Ketiga,
diperbolehkan memunculkan diri apabila memang tidak ada lagi calon
pemimpin yang layak sementara ia memang sosok yang layak untuk
dikedepankan dan telah memenuhi kriteria seorang pemimpin. Sebagaimana
kasus nabi Yusuf AS.
Keempat, diperbolehkan memohon kepada Allah SWT agar menjadi pemimpin yang bertaqwa.
Kelima,
sangat dilarang dalam Islam bagi orang yang tidak layak, seperti: track
record-nya sangat buruk, tidak cakap dalam memimpin, amoral dan telah
melakukan penyimpangan lainnya untuk mengajukan diri menjadi calon
pemimpin.
" Kalau umat Islam salah menerapkan ilmu syariat maka tunggulah kehancurannya "
Rasulullah
SAW berpesan: 'Seorang Mukmin tidak akan masuk ke dalam satu lubang
yang sama untuk ke dua kalinya' (HR. Muslim) Artinya, jangan sampai umat
Islam kembali menelan pil pahit yang memudharatkan untuk ke sekian
kalinya.
Renungan buat calon pemimpin :
Pertama,
terapkanlah kesabaran politik dan tahanlah syahwat ambisi menjadi pemimpin.
Kedua,
bermusyawarahlah sesama tokoh-tokoh yang muncul dan memunculkan diri untuk bermufakat hanya ada satu suara umat Islam.
Ketiga,
galanglah kekuatan atas nama kemaslahatan umat Islam bukan kepentingan pribadi/golongan atau partai.
Keempat,
sadarilah jabatan adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan baik di hadapan umat dan juga sang Khalik (Allah SWT).
Kelima,
luruskanlah orientasi untuk menjadi pemimpin adalah demi kemaslahatan umat Islam dan kesejahteraan masyarakat.
Keenam,
kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta pula Tauhid kan Allah SWT dan Kafirkan Thoghut.
Ketujuh,
hancurkan berhala PANCASILA
"Sadarlah wahai umat Islam kerena Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka,” (Ar Raad :11).
Sumber : https://www.facebook.com/notes/mulyadi/50-kerusakan-demokrasi-pemilu-dan-berpartai/217881285077031