Jumat, 28 Maret 2014

Tahun 2014 : Tahun Pesta Syirik Demokrasi, Waspadalah!




Tahun ini tahun 2014 disebut sebagai tahun politik, karena di tahun 2014 akan diadakan hajat besar negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pesta syirik demokrasi, pemilu 2014. 

Ironis! Seharusnya negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini menerapkan syariat Islam dan menegakkan hukum-hukum Islam dalam bernegara, mengatur masyarakatnya, serta berhubungan dengan negara lain. Alih-alih melakukan semua kewajiban syariat tersebut, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini malah mengadopsi sistem kafir syririk demokrasi, dengan mengadakan pemilu 2014, untuk memilih wakil-wakil rakyat di parlemen, yang berhukum dengan hukum-hukum kafir, UU buatan manusia. Na’udzu billahi min dzalik!

Padahal, semua orang tahu, demokrasi adalah sistem kafir, syirik, dan haram untuk menerapkan dan mengadopsinya. Hal ini dikarenakan dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat bukan di tangan Allah SWT., sebagai satu-satunya Dzat yang layak disembah dan berhak membuat dan menetapkan hukum buat seluruh manusia. 

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang tidak dapat menolak ketetapan-Nya”  (QS. Ar-Ra’ad:41),

“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (QS.Al-Ma’idah:1),

“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”  (QS. Al-Hajj:14). 

Demokrasi telah merampas hak Allah SWT., sebagai satu-satunya pembuat hukum. Demokrasi telah menjadikan manusia, para wakil rakyat yang dipilih menjadi tuhan-tuhan baru, tuhan-tuhan kolektif, tandingan-tandingan Allah SWT. Dengan kata lain, pesta syirik demokrasi di tahun 2014 (pemilu 2014) akan memilih para tuhan baru, yang mana mereka akan menjadi para pembuat hukum sesuai dengan kemauan mereka sendiri, dan bebas tanpa batas apa pun. 

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan keinginannya sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu”  (QS. Al-Furqon:43-44). 

Waspadalah wahai kaum Muslimin, jangan sampai kalian jatuh ke dalam kubangan lumpur sistem kafir syirik demokrasi. Ketahuilah, bahwa demokrasi adalah sebuah agama baru, agama yang bertentangan dan melawan Islam, di mana pemegang kedaulatan adalah rakyat dan mereka semua mencampakkan Islam, di mana Islam hanya menjadikan Allah SWT., semata sebagai pemegang kedaulatan. Sebagaimana sabda Rosululloh SAW:
”Penguasa itu Alloh Tabaroka Wata’ala” .
 
Stay Moslem, Don’t Vote!
Tetaplah menjadi seorang Muslim, dan jangan ikuti sistem kafir syirik demokrasi. Sebab telah jelas, terang benderang dan pasti, bahwa siapapun yang ikut dalam pesta syirik demokrasi, maka aqidahnya akan terancam. 

“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkah Allah”  (QS. Asy-Syuro:21). 

Demokrasi adalah dien (agama), padahal umat Islam hanya boleh berpegang teguh pada dienul Islam (agama Islam) dan terlarang banginya untuk mengambil, dan menerapkan agama selain agama Islam. 

“Barangsiapa yang mengambil selain Islam sebagai dien, maka perbuatan tersebut tidaklah diterima, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka balasan di akhirat nanti akan merugi (neraka).” (QS Ali Imran : 85) 

Bagi kalian agama kalian dan bagi kami agama kami”
 
Allah SWT., menamakan kekafiran yang diyakini orang-orang kafir itu sebagai agama. Barang siapa membuat undang-undang untuk manusia maka ia telah menjadikan dirinya sebagai tuhan bagi manusia dan sebagai sekutu bagi Allah, ini satu dalil. Sedangkan dalil lain yang menunjukkan atas kafirnya para wakil rakyat tersebut adalah mereka membuat undang-undang (selain Allah) dan mengangkat diri mereka sebagai tuhan selain Allah bagi manusia. Ini juga merupakan kekafiran tersendiri, sebagaimana firman Allah: 

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Robb selain Allah”  (QS. Ali Imron:64). 

Jadi, waspadalah wahai umat Islam. Tetaplah Muslim, dan jangan kalian ikuti pesta syirik demokrasi di tahun 2014 ini. Jangan kotori dan hancurkan aqidah Islam yang kalian miliki. Sungguh mahal harganya tauhid yang lurus, dengan jalan syirik demokrasi yang sesat. Bukankah Allah SWT., telah berfirman : 

“Sesungguhnya agama di sisi Alloh itu hanyalah Islam…”
 
Maka, tetaplah Menjadi Muslim, dan jangan ikuti pesta syirik demokrasi! Ya Allah, saksikanlah, kami telah menyampaikannya!

Rabu, 26 Maret 2014

50 Kerusakan Demokrasi, Pemilu dan Berpartai



MUQADDDIMAH

Segala puji hanya milik Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya serta orang yang berwala’ kepadanya. Amma ba’du.

Ini adalah kajian singkat yang menjelaskan tentang beberapa indikasi destruktif dan bahaya yang ditimbulkan akibat terjun dan berkiprah dalam kancah demokrasi yang banyak orang tertipu dengannya dan menggantungkan harapan mereka kepadanya meskipun hal ini jelas-jelas bertentangan dengan manhaj Allah sebagaimana yang akan dijelaskan dalam kajian yang singkat ini, apalagi banyak sudah pengalaman pahit yang didapat oleh orang yang tertipu dengan permainan ini dan ditampakkan sisi penyimpangan dan kesesatannya.



50 Indikasi Destruktif Demokrasi

Dengan memohon taufiq kepada Allah, kami berusaha memaparkan beberapa indikasi destruktif (kerusakan) demokrasi, pemilihan umum dan berpartai:


1. Demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya berupa partai-partai dan pemilihan umum merupakan manhaj jahiliyah yang bertentangan dengan Islam, maka tidak mungkin sistem ini dipadukan dengan Islam karena Islam adalah cahaya sedangkan demokrasi adalah kegelapan.

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidak (pula) kegelapan dengan cahaya.” (Surat Faathir:19-20)

Islam adalah hidayah dan petunjuk sedangkan demokrasi adalah penyimpangan dan kesesatan.

“Sungguh telas jelas petunjuk daripada kesesatan.” (Surat Al-Baqarah: 256)

Islam adalah manhaj rabbani yang bersumber dari langit sedangkan demokrasi adalah produk buatan manusia dari bumi. Sangat jauh perbedaan antara keduanya.


2. Terjun ke dalam kancah demokrasi mengandung unsur ketaatan kepada orang-orang kafir baik itu orang Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, padahal kita telah dilarang untuk menaati mereka dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka, sebagaimana hal ini telah diketahui secara lugas dan gamblang dalam dien.

Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menaati sekelompok orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah kamu beriman.” (Surat Ali ‘Imran: 100)

“Karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (Surat Al-Furqaan: 52)

“Dan janganlah kamu menaati orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung(mu).” (Surat Al-Ahzaab: 48)

Dan ayat-ayat yang senada dengan ini sangat banyak dan telah menjadi maklum.


3. Sistem demokrasi memisahkan antara dien dan kehidupan, yakni dengan mengesampingkan syari’at Allah dari berbagai lini kehidupan dan menyandarkan hukum kepada rakyat agar mereka dapat menyalurkan hak demokrasi mereka –seperti yang mereka katakan– melalui kotak-kotak pemilu atau melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Perwakilan.


4. Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq, karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap pemeluk agama, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, “Sesungguhnya sistem demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan yang telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu,” sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan (ironisnya) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan:

“Sesungguhnya demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik.”


5. Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme (menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi yang populer,”Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja ia mau,” juga di bawah semboyan “menjaga kebebasan individu.”


6. Sistem demokrasi membuka pintu perpecahan dan perselisihan, mendukung program-program kolonialisme yang bertujuan memecah-belah dunia Islam ke dalam sukuisme, nasionalisme, negara-negara kecil, fanatisme golongan dan kepartaian. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:

“Dan sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku.” (Surat Al-Mukminun: 52)

Juga bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (dien) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Surat Ali ‘Imran: 103)

Dan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu gagal dan hilang kekuatanmu.” (Surat Al-Anfal: 46)


7. Sesungguhnya orang yang bergelut dengan sistem demokrasi harus mengakui institusi-institusi dan prinsip-prinsip kekafiran, seperti piagam PBB, deklarasi Dewan Keamanan, undang-undang kepartaian dan ikatan-ikatan lainnya yang menyelisihi syari’at Islam. Jika ia tidak mau mengakuinya, maka ia dilarang untuk melaksanakan aktivitas kepartaiannya dan dituduh sebagai seorang ekstrim dan teroris, tidak mendukung terciptanya  perdamaian dunia dan kehidupan yang aman.


8. Sistem demokrasi memvakumkan hukum-hukum syar’i seperti jihad, hisbah, amar ma’ruf nahi munkar, hukum terhadap orang yang murtad, pembayaran jizyah, perbudakan dan hukum-hukum lainnya.


9. Orang-orang murtad dan munafiq dalam naungan sistem demokrasi dikategorikan ke dalam warga negara yang potensial, baik dan mukhlis, padahal dalam tinjauan syar’i mereka tidak seperti itu.


10. Demokrasi dan pemilu bertumpu kepada suara mayoritas tanpa tolak ukur yang syar’i.

Sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan jika kamu mentaati kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Surat Al-An’am: 116)

“Akan tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahui.” (Surat Al-A’raf: 187)

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Surat Saba’: 13)


11. Sistem ini membuat kita lengah akan tabiat pergolakan antara jahiliyah dan Islam, antara haq dan batil, karena keberadaan salah satu di antara keduanya mengharuskan lenyapnya yang lain, selamanya tidak mungkin keduanya akan bersatu. Barangsiapa mengira bahwa dengan melalui pemilihan umum fraksi-fraksi jahiliyah akan menyerahkan semua institusi-institusi mereka kepada Islam, ini jelas bertentangan dengan rasio, nash dan sunah (keputusan Allah) yang telah berlaku atas umat-umat terdahulu.

“Tiadalah yang mereka nanti melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) atas orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan bagi sunnatullah dan sekali-kali tidak (pula) akan mendapati perpindahan bagi sunnatullah itu.” (Surat Faathir: 43)


12. Sistem demokrasi ini akan menyebabkan terkikisnya nilai-nilai aqidah yang benar yang diyakini dan diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia, akan menyebabkan tersebarnya bid’ah, tidak dipelajari dan disebarkannya aqidah yang benar ini kepada manusia, karena ajaran-ajarannya menyebabkan terjadi perpecahan di kalangan anggota partai, bahkan dapat menyebabkan seseorang keluar dari partai tersebut sehingga dapat mengurangi jumlah perolehan suara dan pemilihnya.


13. Sistem demokrasi tidak membedakan antara orang yang alim dengan orang yang jahil, antara orang yang mukmin dengan orang kafir, dan antara laki-laki dengan perempuan, karena mereka semuanya memiliki hak suara yang sama, tanpa dilihat kelebihannya dari sisi syar’i. padahal Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Surat Az-Zumar: 9)

“Maka apakahorang yang beriman itu sama seperti orang yang fasiq? Mereka tidaklah sama.” (Surat As-Sajdah: 18)
“Maka apakah Kami patut menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu berbuat demikian, bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Surat Al-Qalam: 35-36)

“Dan anak laki-laki (yang ia nadzarkan itu) tidaklah seperti anak perempuan (yang ia lahirkan).” (Surat Ali Imran: 38)


14. Sistem ini menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan para aktivis dakwah dan jamaah-jamaah Islamiyah, karena terjun dan berkiprahnya sebagian dari mereka ke dalam sistem ini (mau tidak mau) akan membuat mereka mendukung dan membelanya serta berusaha untuk mengharumkan nama baiknya yang pada gilirannya akan memusuhi siapa yang dimusuhi oleh sistem ini dan mendukung serta membela siapa yang didukung dan dibela oleh sistem ini, maka ujung-ujungnya fatwa pun akan simpang-siur tidak memiliki kepastian antara yang membolehkan dan yang melarang, antara yang memuji dan yang mencela.


15. Di bawah naungan sistem demokrasi permasalahan wala’ dan bara’ menjadi tidak jelas dan samar, oleh  karenanya ada sebagian orang yang berkecimpung dan menggeluti sistem ini menegaskan bahwa perselisihan mereka dengan partai sosialis, partai baath dan partai-partai sekuler lainnya hanya sebatas perselisihan di bidang program saja bukan perselisihan di bidang manhaj dan tak lain seperti perselisihan yang terjadi antara empat madzhab, dan mereka mengadakan ikatan perjanjian dan konfederasi untuk tidak mengkafirkan satu sama lain dan tidak mengkhianati satu sama lain, oleh karenanya mereka mengatakan adanya perselisihan jangan sampai merusakkan kasih sayang antar sesama!!


16. Sistem ini akan mengarah pada tegaknya konfederasi semu dengan partai-partai sekuler, sebagai telah terjadi pada hari ini.


17. Sangat dominan bagi orang yang berkiprah dalam kancah demokrasi akan rusak niatnya, karena setiap partai berusaha dan berambisi untuk membela partainya serta memanfaatkan semua fasilitas dan sarana yang ada untuk menghimpun dan menggalang massa yang ada di sekitarnya, khususnya sarana yang bernuansa religius seperti ceramah, pemberian nasehat, ta’lim, shadaqah dan lain-lain.


18. (Terjun ke dalam kancah demokrasi) juga akan mengakibatkan rusaknya nilai-nilai akhlaq yang mulia seperti kejujuran, transparansi (keterusterangan) dan memenuhi janji, dan menjamurnya kedustaan,  berpura-pura (basa-basi) dan ingkar janji.


19. Demikian pula akan melahirkan sifat sombong dan meremehkan orang lain serta bangga dengan pendapatnya masing-masing karena yang menjadi ini permasalahan adalah mempertahankan pendapat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:

“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka (masing-masing).” (Surat Al-Mukminun: 53)


20. Kalau kita mau mencermati dan meneliti dengan seksama, berikrar dan mengakui demokrasi berarti menikam (menghujat) para Rasul dan risalah (misi kerasulan) mereka, karena al-haq (kebenaran) kalau diketahui melalui suara yang terbanyak dari rakyat, maka tidak ada artinya diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab, apalagi biasanya ajaran yang dibawa oleh para Rasul banyak menyelisihi mayoritas manusia yang menganut aqidah yang sesat dan menyimpang dan memiliki tradisi-tradisi jahiliyah.


21. Sistem demokrasi membuka pintu keraguan dan syubhat serta menggoncangkan aqidah umat Islam, terlebih lagi kita hidup di masa dimana ulama robbaninya sangat sedikit sedang kebodohan tersebar dimana-mana. Maka lantaran terbatasnya ilmu, banyak orang-orang awam yang jiwanya down dan goncang dalam menghadapi gelombang besar dan arus deras dari berbagai partai, surat kabar, dan pemikiran-pemikiran yang destruktif.


22. Melalui dewan-dewan perwakilan dapat diketahui bahwa sesungguhnya sistem demokrasi berdiri di atas asas tidak mengakui adanya Al-Hakimiyah Lillah (hak pemilikian hukum bagi Allah), maka terjun ke dalam sistem demokrasi kalau bertujuan untuk menegakkan argumen-argumen dari Al-Quran dan Sunnah maka hal ini tidak mungkin diterima oleh anggota dewan karena yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah suara mayoritas dan andapun mau tidak mau harus mengakui suara mayoritas tersebut, maka bagaimana anda akan menegakkan hujjah dengan Al-Quran dan Sunnah sedangkan mereka tidak mengakui keduanya. Meskipun anda menguatkan (argumen anda) dengan berbagai dalil-dalil syar’i maka dalam pandangan mereka hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat anda saja, bagi mereka dalil-dalil tersebut tidak memiliki nilai sakral sedikitpun karena mereka menginginkan –seperti yang mereka katakan– untuk membebaskan diri dari hukum ghaib yang tidak bersumber dari suara mayoritas dan pertama kali yang mereka tentang adalah hukum Allah dan Rasul-Nya. Maka pengakuan anda terhadap prinsip thaghut ini –yakni kebijakan hukum di tangan suara mayoritas dan pengakuan anda akan hal itu demi memenuhi tuntutan massamu– berarti meruntuhkan prinsip “hak pemilikan dan penentuan hukum mutlaq bagi Allah semata.” Dan manakala anda menyepakati bahwa suara mayoritas merupakan hujjah yang dapat menyelesaikan perselisihan maka tidak ada gunanya lagi anda membaca Al-Quran dan hadits karena keduanya bukan hujjah yang disepakati di antara kalian.


23. Kita tanyakan kepada para aktivis dakwah yang tertipu dengan sistem ini: Jika kalian sudah sampai pada tampuk kekuasaan apakah kalian akan menghapuskan demokrasi dan melarang eksisnya partai-partai sekuler?
Padahal kalian telah sepakat dengan partai-partai lain sesuai dengan undang-undang kepartaian bahwa pemerintahan akan dilaksanakan secara demokrasi dengan memberi kesempatan kepada seluruh partai untuk berpartisipasi aktif. Jika kalian mengatakan bahwa sistem demokrasi ini akan dihapus dan partai-partai sekuler dilarang untuk eksis berarti kalian berkhianat dan mengingkari perjanjian kalian merkipun perjanjian tersebut (pada hakekatnya) adalah bathil. Sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman:

“Dan jika kamu mengetahui pengkhianatan dari suatu kaum (golongan), maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang  berkhianat.” (Surat Al-Anfal: 58)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Akan ditancapkan sebuah bendera bagi setiap orang yang ingkar pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhary)

Adapun hadits yang menyatakan bahwa perang itu adalah tipu daya, tidak termasuk dalam pembahasan ini. Dan jika kalian mengatakan kami akan menegakkan hukum demokrasi dan mentolerir berdirinya partai-partai berarti ini bukanlah pemerintahan yang Islami.


24. Sistem demokrasi bertentangan dengan prinsip taghyir (perubahan) dalam Islam yang dimulai dari mencabut segala yang berbau jahiliyah dari akar-akarnya lalu mengishlah (memperbaiki) jiwa-jiwa manusia.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada diri mereka sendiri.” (Surat Ar-Ra’du: 11)

Maka prinsip perbaikan ekonomi, politik dan sosial adalah mengikuti perbaikan jiwa manusia-manusianya, bukan sebaliknya.


25. Sistem ini bertentangan dengan nash-nash yang qath’i yang mengharamkan menyerupai orang-orang kafir baik dalam akhlaq, gaya hidup, tradisi ataupun sistem dan perundang-undangan mereka.


26. Dan yang sangat membahayakan, sistem demokrasi dan pemilu dapat mengestablishkan (mengukuhkan posisi) orang-orang kafir dan munafiq untuk memegang kendali kekuasaan atas kaum muslimin –dengan cara yang syar’i– menurut perkiraan sebagian orang-orang yang jahil. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:

“Janji-Ku (untuk menjadikan keturunan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin) ini tidak mengenai orang-orang dzalim.” (Surat Al-Baqarah: 124)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Surat An-Nisaa’: 141)

 Berapa banyak orang-orang muslim yang awam tertipu dengan sistem seperti ini sehingga mereka mengira bahwa pemilu adalah cara yang syar’i untuk memilih seorang pemimpin!!


27. Demokrasi mengaburkan dan meruntuhkan pengertian syura yang benar, karena minimal syura itu berbeda dengan demokrasi dalam tiga prinsip dasar:

a. Dalam sistem syura, sebagai pembuat dan penentu hukum adalah Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Menetapkan hukum itu adalah hak Allah.” (Surat Al-An’am: 57)

Sedangkan demokrasi tidak seperti itu karena penentu hukum dan kebijaksanaan berada pada selain Allah (yakni di tangan suara mayoritas).

b. Syura dalam Islam hanya diterapkan dalam masalah-masalah ijtihadi yang tidak ada nashnya ataupun ijma’, sedangkan demokrasi tidaklah demikian.

c. Syura dalam Islam hanya terbatas dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam Ahlu’l-Halli wa’l-Aqdi, orang-orang yang berpengalaman dan mempunyai spesifikasi tertentu, sedangkan demokrasi tidak seperti itu sebagaimana telah dijelaskan pada point terdahulu.


28. Terjun ke dalam kancah demokrasi akan dihadapkan pada perkara-perkara kufur dan menghujat syariat Allah, mengolok-oloknya dan mencemooh orang-orang yang berusaha untuk menegakkannya, karena setiap kali dijelaskan kepada mereka bahwa hukum yang mereka buat bertentangan dengan ajaran Islam, mereka akan mencemooh syariat Islam yang bertentangan dengan undang-undang mereka dan mencemooh  orang-orang yang berusaha untuk memperjuangkannya. Maka menutup erat-erat pintu yang menuju ke sana dalam hal ini sangat diperlukan.

Allah Ta’ala berfirman:
“Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu sangat bermanfaat.” (Surat Al-A’la: 9)

“Dan janganlah kamu memaki-maki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Surat Al-An’am:108)


29. Masuk ke dalam kancah demokrasi dapat menyingkap data-data tentang harakah Islamiyah dan sejauh mana peran dan pengaruhnya terhadap rakyat yang pada gilirannya harakah tersebut akan dihabisi dan dimusnahkan sampai ke markasnya. Maka jelas hal ini sangat merugikan dan membahayakan sekali.


30. Demokrasi akan membuat harakah Islamiyah dikendalikan oleh orang-orang yang tidak kufu’ (yang tidak memiliki pengetahunan dan pemahaman tentang Dien yang cukup), karena yang menjadi pemimpin harus sesuai dengan hasil partai dalam sistem kerja maupun pelaksanaan programnya harus sesuai dengan asas pemilu.


31. Dari hasil kajian dan pemantauan langsung di lapangan telah terbukti gagal dan tidak ada manfaatnya sistem ini, di mana banyak para aktivis dakwah di pelbagai negara seperti Mesir, Aljazair, Tunisia, Yordania, Yaman, dan lain-lain yang telah ikut berperan dalam pentas demokrasi ini, namun hasilnya sama-sama telah diketahui “hanya sekedar mimpi dan fatamorgana” sampai kapan kita masih akan tertipu?


32. Orang yang mau memperhatikan dan mencermati akan tahu bahwa sistem demokrasi akan menyimpangkan alur shahwah Islamiyah (kebangkitan Islam) dari garis perjalanannya, melalaikan akan tujuan dasarnya dan juga akan menjurus kepada perubahan total yang mendasar dan menyeluruh, yang hanya bertumpu pada prediksi dan khayalan belaka.


33. (Diberlakukannya sistem demokrasi) berarti menafikan peran ulama dan menghilangkan kedudukan mereka di mata masyarakat padahal merekalah yang memiliki ilmu dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, karena mereka sudah tidak lagi ditaati dan dijadikan sebagai pemimpin lantaran kebijaksanaan hukum berada di tangan mayoritas.


34. Sistem demokrasi memupuskan minat dan semangat untuk mendalami ilmu syar’i dan tafaqquh fi’d-dien dan menyibukkan manusia dalam hal-hal yang tidak bermanfaat.


35. Sistem demokrasi menyebabkan terhentinya ijtihad, karena tidak ada istilah mujtahid dan muqollid dalam barometer demokrasi, semuanya adalah mujtahid tanpa perlu memiliki perangkat ijtihad atau melihat kepada dalil-dalil syar’i.


36. Sistem ini dapat menyebabkan hancur dan binasanya harakah Islamiyah, karena sering kali harakah-harakah ini bertikai dan berkonfrontasi dengan orang-orang yang menyelisihi mereka tanpa mempunyai kemampuan dan persiapan untuk menghadapi musuh.


37. Menurut sebagian aktivis dakwah, tujuan mereka masuk ke dalam sistem ini adalah untuk menegakkan hukum Allah. Padahal mereka tidak akan mewujudkannya kecuali dengan mengakui bahwa rakyat adalah sebagai penentu dan pembuat hukum, ini berarti ia telah menghancurkan tujuan (yang ingin dicapainya) dengan sarana yang dipergunakannya.


38. Demokrasi adalah sebuah sistem yang menipu rakyat pada hari ini, dengan propagandanya hukum berada di tangan rakyat dan rakyatlah sebagai pemegang keputusan, padahal pada hakekatnya tidaklah demikian.


39. Demokrasi menyita dan menghabiskan waktu dan tenaga para ulama dan aktivis dakwah, dan membuat mereka lalai dari membina umat dan dari berkonsentrasi untuk mengajarkan dienul Islam kepada manusia.


40. Dalam sistem demokrasi kekuasaan dibatasi sampai pada masa tertentu, jika masanya telah berakhir maka ia harus turun untuk digantikan dengan yang lainnya., kalau tidak maka akan terjadi pertikaian dan peperangan, padahal bisa jadi sebenarnya dialah yang paling berhak (karena memiliki kemampuan dan kecakapan yang memenuhi persyaratan sebagai seorang pemimpin) namun karena masa jabatannya telah habis ia diganti oleh orang lain yang tidak memiliki kemampuan seperti dirinya. Maka hal ini akan membuka pintu fitnah dan sikap membelot dari penguasa yang sah, padahal telah diketahui bahwa keluar (membelot) dari penguasa itu tidak boleh kecuali jika penguasa tersebut terlihat melakukan kekafiran yang nyata dan pembelotannya dapat mewujudkan kemaslahatan yang berarti serta memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut.


41. Dewan-dewan perwakilan adalah dewan-dewan thaghut yang tidak dapat dipercaya untuk mengakui bahwa pemilik dan penentu hukum secara mutlaq adalah Allah, maka tidak boleh duduk bersama mereka di bawah payung demokrasi, karena Allah Ta’ala telah berfirman:

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Quran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan dicemoohkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam.” (Surat An-Nisaa’: 140)

“Dan apabila kamu melihat orang-orang menghina ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk lagi bersama orang-orang yang dzalim itu sesuadah teringat (akan larangan itu).” (Surat Al-An’am: 68)


42. Demokrasi pada hakekatnya menikam (menghujat) Allah serta melecehkan hikmah dan syariat-Nya. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, kita katakan sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul dan mewajibkan manusia untuk menaati mereka, mengancam orang yang tidak taat dengan neraka dan kebinasaan, menurunkan kitab-kitab suci sebagai pemutus perkara di antara manusia. Dia menghalalkan dan mengharamkan, mewajibkan, memakruhkan dan mensunnahkan, memuji dan mencela, menghinakan dan memuliakan, mengangkat suatu kaum dan menjatuhkan kaum yang lain tanpa memandang dan melihat kondisi dan keadaan yang menyelisihi ajaran para Rasul. Bahkan ketika para Rasul tersebut datang, mayoritas manusia –kalau kita tidak mengatakan semuanya— dalam kesesatan dan dalam kungkungan kejahiliyahan yang membabi buta. Maka sekiranya demokrasi dan hak membuat dan memutuskan hukum yang berada di tangan rakyat itu benar, berarti semua perbuatan yang telah dilakukan Allah ini sia-sia belaka. Maha Suci Allah atas semua hal ini.

Kedua, kita katakan sekiranya demokrasi itu haq (benar), niscaya diturunkannya kitab-kitab suci dan diutusnya para Rasul merupakan tindakan semena-mena dan dzalim serta berbenturan dengan pendapat dan hak manusia untuk menghukumi mereka dengan hukum mereka sendiri. Maha Suci Allah dari segala bentuk kedzaliman.

Ketiga, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya hukum tentang jihad dan tumpahnya darah orang-orang kafir yang menentang Islam serta hukum membayar jizyah dan perbudakan adalah tindak kedzaliman bagi mereka dan bertentangan dengan pendapat-pendapat mereka yang destruktif. Sikap seperti ini berarti menghujat syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sisi lain, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya pengusiran iblis dari surga, pembinasaan kaum Nabi Nuh, ditenggelamkannya Fir’aun dan pasukannya serta kebinasaan yang menimpa kaum Nabi Hud, Shalih, Syu’aib, dan Luth, ini semua merupakan tindak kedzaliman atas mereka karena Allah mengadzab mereka lantaran pemikiran-pemikiran dan aqidah mereka yang destruktif.

Sisi lain, sekiranya demokrasi itu haq, niscaya hukuman rajam terhadap orang yang berzina dan hukuman cambuk terhadap orang yang minum arak merupakan tindak kekerasan dan kekejaman, dan mengusik  kebebasan individu seperti dikatakan oleh orang-orang dzalim.

“Alangkah busuknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Surat Al-Kahfi: 5)


43. Di bawah naungan sistem demokrasi berbagai bid’ah dan kesesatan dengan berbagai macam pola tumbuh subur dan orang-orang yang menyerukannya dari berbagai thoriqot dan firqoh seperti Syiah, Rafidlah, Sufiah, Mu’tazilah, Kebatinan, dan lain-lainnya pun bermunculan. Bahkan di bawah naungan sistem ini mereka mendapatkan dukungan dan dorongan dari orang-orang munafik yang berada di dalamnya dan juga dari kekuatan-kekuatan yang terselubung dari pihak luar. Dan Allah tetap memiliki urusan terhadap makhluk-makhluk ciptaan-Nya.

44. Sebaliknya bertubi-tubi tuduhan dan dakwaan yang ditujukan kepada para aktivis dakwah dengan menjelekkan citra mereka di mata masyarakat umum sehingga mereka dijuluki sebagai pencari kedudukan, harta dan jabatan, dan mereka juga dijuluki sebagai penjilat dan masih banyak lagi julukan-julukan dusta lainnya sebagai akibat diberlakukannya asas bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat serta menghujat harga diri orang lain.


45. Orang yang berada di dalam sistem ini dipaksa untuk bergabung dalam satu barisan bersama partai-partai murtad dan zindiq dalam mempertahankan prinsip-prinsip jahiliyah seperti deklarasi-deklarasi internasional, kebebasan pers, kebebasan berpikir, kebebasan etnis Arab,


46. Sistem ini akan mengakibatkan hancurnya perekonomian dan disia-siakannya harta rakyat, karena anggaran belanja negara akan dialokasikan oleh partai-partai berkuasa demi memenuhi ambisi mereka dengan  membangun gedung-gedung dan menjalankan kampanye pemilihan umum sesuai dengan yang mereka rencanakan dan agar partai-partai tersebut dapat mewujudkan pembelian dukungan (penggalangan dan pengumpulan massa) dengan iming-iming materi yang menggiurkan.


47. Sistem ini memadukan antara haq dan bathil, jahiliyah dan Islam, serta antara ilmu dan kebodohan.


48. Demokrasi mencabik-cabik jati diri umat Islam dan menjatuhkan kewibawaan mereka melalui penghujatan atas syari’at dan tuduhan bahwa syari’at tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman, juga melalui pengebirian sejarah dan hukum Islam dan mengilustrasikan bahwa Islam itu diktator tidak seperti demokrasi. Di samping itu demokrasi berarti meleburkan umat Islam secara membabi buta ke dalam satu wadah bersama orang-orang barat dari golongan Yahudi dan Nasrani yang memendam dendam kesumat kepada umat Islam.


49. Sistem ini akan membuat labilnya keamanan suatu negeri dan terjadinya persaingan antar partai yang tidak berujung pangkal, maka manakala sistem ini diterapkan di suatu negara, niscaya akan tersebar rasa takut, cemas, persaingan antar penganut aqidah, aliran, fanatisme golongan dan keturunan, sikap oportunis dan bentuk-bentuk persaingan tidak sehat lainnya.


50. Kalaupun ada kemaslahatan yang dapat dipetik dari berkiprah dalam demokrasi dan pemilihan umum, kemaslahatan ini masih bersifat parsial dan masih samar jika dibandingkan dengan sebagian kerusakan besar yang ditimbulkannya apalagi jika dibandingkan dengan keseluruhannya. Dan orang yang mengamati secara obyektif atas sebagian yang telah disebutkan akan menjadi jelas baginya ketimpangan sistem thoghut ini dan jauhnya dari dienullah bahkan sesungguhnya demokrasi adalah aliran dan sistem yang paling berbahaya yang dipraktekkan di dunia saat ini, ia merupakan induk kekafiran, dimana memungkinkan setiap aliran dan agama baik itu Yahudi, Nasrani, Majusi, Budha, Hindu dan Islam untuk hidup di bawah naungannya. Dalam barometer demokrasi semua pendapat mereka dihargai dan didengar, mereka berhak untuk mempraktekkan dan mengamalkan aqidah mereka dengan seluruh sarana dan fasilitas yang ada. Cukuplah hal ini sebagai tanda zindiq dan keluar dari dien Islam, maka bagaimana mungkin setelah ini dikatakan sesungguhnya demokrasi itu sesuai dengan Islam atau Islam itu adalah sistem demokrasi atau demokrasi itu adalah syura sebagaimana dikatakan oleh sejumlah orang yang menggembar-gemborkan sistem ini sebagai sistem Islam.



PENUTUP

Akhirnya kami mengharap dari setiap saudara yang berambisi untuk memperjuangkan Dienullah untuk benar-benar mencermati serta mengkaji kembali kerusakan-kerusakan ini, dan melihat kepadanya secara obyektif jauh dari fanatik individu, badan, atau institusi tertentu karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti dan hikmah merupakan barang orang mu’min yang hilang dimanapun ia mendapatkannya maka ia berhak atasnya. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang agung agar menyatukan hati-hati kaum muslimin di atas ketaatan kepada-Nya dan menyatukan barisan mereka di atas Al-Haq dan ittiba’ (mengikuti tuntunan dan garis perjuangan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam). Karena Dialah Yang Maha Kuasa atas hal tersebut. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada penutup para Nabi dan Rasul Nabi kita Muhammad, segenap keluarganya, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang meniti jejaknya dan mengikuti sunnahnya sampai hari kiamat.



Bardasarkan 50 hal-hal tentang kerusakan Demokrasi, Pemilu dan Berpartai diatas, nampaknya kurang lengkap kalau kita tidak menyentuh essensinya Demokrasi, yakni dengan istilah :

1. "Dari Rakyat, Kepada Rakyat, Untuk Rakyat" sesungguhnya ini merupakan tipu muslihat dari ideologi DEMOKRASI, dimana yang sebenarnya yakni "Dari Partai, Kepada Partai, Untuk Partai"Sebab dimana seorang kader partai yang naik ke kursi kekuasaan maka dia dengan sendirinya membawa kepentingan partainya maka dapat kita kenal dengan "partai yang berkuasa" di tengah masyarakat, serta membawa misi untuk melanggengkan partainya untuk berkuasa, serta pula seorang kader tersebut namanya besar berkat dari kaderisasi partai tersebut. Yang menentukan nasib rakyat bukan mereka yang duduk di kursi kekuasaan tapi Ketua Umum partainya, para fraksinya maupun orang-orang yang besar (investasi lokal maupun asing).

2. Setiap Rakyat dapat dipilih atau memilih, lebih tegasnya "setiap orang berhak memilih (ini sudah dibahas  diatas sebelumnya) dan "setiap orang berhak untuk mengcalonkan/mengajukan diri menjadi pemimpin" silahkan disimak berbagai dalil syariat sebagai berikut (Pandangan Islam Tentang Ambisi Menjadi Pemimpin):

Rasulullah SAW bersabda: 'Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan jabatan kepada orang yang meminta dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap untuk diangkat'. (HR. Bukhari dan Muslim).

Senada dengan hadits diatas, Nabi Muhammad SAW berkata kepada Abdur Rahman Ibnu Samurah ra.: 'Wahai Abdur Rahman, Janganlah engkau meminta untuk diangkat menjadi pemimpin. Sebab, jika engkau menjadi pemimpin karena permintaanmu sendiri, tanggung jawabmu akan besar sekali. Dan jika engkau diangkat tanpa permintaanmu sendiri engkau akan ditolong orang dalam tugasmu.' (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain dijelaskan,  Abu Dzar ra. Pernah berkata: 'Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak hendak mengangkatku memegang suatu jabatan?' Rasulullah SAW menepuk bahuku dan berkata: 'Wahai Abu Dzar, engkau ini lemah sedangkan jabatan itu amanah yang pada hari kiamat kelak harus dipertanggung jawabkan dengan resiko penuh penghinaan dan penyesalan, kecuali orang yang memenuhi syarat dan dapat memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik'. (HR. Muslim)


Dari keterangan-keterangan hadits di atas, maka dapat disimpulkan, mengajukan diri untuk diangkat menjadi pemimpin adalah sesuatu yang tercela apalagi tidak dibarengi dengan kelayakan diri menjadi pemimpin. Namun sebaliknya, apabila seseorang diangkat menjadi pemimpin karena dukungan atau permintaan umat, memenuhi syarat dan mampu menjalankan tugas dengan amanah maka yang seperti ini tidaklah tercela. Jika Islam memandang,  berharap atau meminta diangkat menjadi pemimpin atau pejabat itu tercela, lalu bagaimana dengan apa yang pernah dilakukan Nabi Yusuf AS. yang meminta jabatan dan menonjolkan dirinya agar diberikan jabatan itu? Sebagaimana dikisahkan dalam Al Quran: 'Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir).  Sesungguhnya aku pandai menjaga lagi berpengetahuan.' (Q.S. Yusuf: 55).


Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran: '(Di antara sifat hamba Allah yang mendapatkan kemulian) adalah orang-orang yang berkata: Wahai Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa.' (Q.S. al-Furqan : 75).

Nabi Yusuf AS meminta dan menonjolkan dirinya untuk diangkat menjadi pemimpin (sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Yusuf: 55) karena ia melihat tidak ada orang yang teguh memperjuangkan kebenaran dan mengajak umat kepada kebenaran. Dan ia merasa mampu untuk itu, namun ia belum dikenal. Oleh karena itu, ia perlu meminta dan menonjolkan dirinya. Demikian pula permohonan seorang muslim kepada Allah SWT untuk diangkat menjadi imam (pemimpin) tidaklah tercela dan terlarang. Karena hal itu merupakan doanya kepada Allah SWT, yang dilarang adalah permohonan kepada manusia.


Berdasarkan keterangan diatas terdapat beberapa ketentuan dari deskripsi di atas, antara lain adalah:

Pertama, pada prinsipnya berambisi menjadi pemimpin dengan memintanya kepada makhluk adalah sikap yang tercela dalam Islam. Sebab, orang yang meminta pada dasarnya punya latar belakang. Sebagaimana analisis Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam bukunya 'Afatun 'Ala ath-Thariq, paling tidak ada beberapa faktor yang mendorong seseorang berambisi menjadi pemimpin, yaitu: Ingin menguasai dan mengendalikan orang lain, menginginkan materi dunia, tidak sadar akan konsekuensi kelengahan pemimpin, tidak menyadari risiko yang ditanggung seorang pemimpin dan suka merendahkan orang lain.

Kedua, diperbolehkan apabila umat Islam yang menghendakinya agar seseorang maju menjadi pemimpin.

Ketiga, diperbolehkan memunculkan diri apabila memang tidak ada lagi calon pemimpin yang layak sementara ia memang sosok yang layak untuk dikedepankan dan telah memenuhi kriteria seorang pemimpin. Sebagaimana kasus nabi Yusuf AS.

Keempat, diperbolehkan memohon kepada Allah SWT agar menjadi pemimpin yang bertaqwa.

Kelima, sangat dilarang dalam Islam bagi orang yang tidak layak, seperti: track record-nya sangat buruk, tidak cakap dalam memimpin, amoral dan telah melakukan penyimpangan lainnya untuk mengajukan diri menjadi calon pemimpin.



" Kalau umat Islam salah menerapkan ilmu syariat maka tunggulah kehancurannya "


Rasulullah SAW berpesan: 'Seorang Mukmin tidak akan masuk ke dalam satu lubang yang sama untuk ke dua kalinya' (HR. Muslim) Artinya, jangan sampai umat Islam kembali menelan pil pahit yang memudharatkan untuk ke sekian kalinya.



Renungan buat calon pemimpin :


Pertama,
terapkanlah kesabaran politik dan tahanlah syahwat ambisi menjadi pemimpin.


Kedua,
bermusyawarahlah sesama tokoh-tokoh yang muncul dan memunculkan diri untuk bermufakat hanya ada satu suara umat Islam.


Ketiga,
galanglah kekuatan atas nama kemaslahatan umat Islam bukan kepentingan pribadi/golongan atau partai.


Keempat,
sadarilah jabatan adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan baik di hadapan umat dan juga sang Khalik (Allah SWT).


Kelima,
luruskanlah orientasi untuk menjadi pemimpin adalah demi kemaslahatan umat Islam dan kesejahteraan masyarakat.

Keenam,
kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta pula Tauhid kan Allah SWT dan Kafirkan Thoghut.

Ketujuh,
hancurkan berhala PANCASILA

"Sadarlah wahai umat Islam kerena Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka,” (Ar Raad :11).




Sumber : https://www.facebook.com/notes/mulyadi/50-kerusakan-demokrasi-pemilu-dan-berpartai/217881285077031

Selasa, 11 Maret 2014

Demokrasi Adalah Agama




Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul-Nya yang mulia, para keluarganya dan sahabatnya serta orang-orang yang berada di atas jalannya hingga hari kiamat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitab An Nubuwwat,hal 127: “Islam adalah berserah diri kepada Allah saja, tidak kepada yang lainnya, beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tawakkal hanya kepada-Nya saja, hanya takut dan mengharap kepada-Nya, dan mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna, tidak mencintai makhluk seperti kecintaan kepada Allah. Siapa yang enggan beribadah kepada-Nya maka dia bukan muslim dan siapa yang di samping beribadah kepada Allah dia beribadah kepada yang lain maka dia bukan orang muslim”.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya Thariqul Hijratain, hal 542 dalam Thabaqah yang ke tujuh belas:

“Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, serta mengikuti apa yang dibawanya, maka bila seorang hamba tidak membawa ini berarti dia bukan orang muslim, bila dia bukan orang kafir mu’aanid maka dia adalah orang kafir yang jahil, dan status orang-orang ini adalah sebagai orang-orang kafir yang jahil tidak mu’aanid (membangkang), dan ketidakmembangkangan mereka itu tidak mengeluarkan mereka dari status sebagai orang-orang kafir.”


Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar As Saniyyah, 1/113: “Bila amalan kamu seluruhnya adalah bagi Allah maka kamu muwahhid, dan bila ada sebagian yang dipalingkan kepada makhluk maka kamu adalah musyrik”.

Beliau rahimahullah juga berkata dalam Ad Durar, 1/323 dan Minhaj At Ta’siis, hal 61: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya maka itu tidak membuat mukallaf tersebut menjadi muslim, dan justeru itu menjadi hujjah atas dia. Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan dia itu beribadah kepada yang selain Allah (pula) maka kesaksiannya itu tidak dianggap meskipun dia itu shalat, zakat, shaum dan melaksanakan sebagian ajaran Islam.”


Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata dalam Al Qaul Al Fashl An Nafiis, hal 31: “Sesungguhnya syirik itu menafikan Islam, menghancurkannya, dan mengurai tali-talinya satu demi satu, ini berdasarkan apa yang telah dijelaskan bahwa Islam itu adalah penyerahan wajah, hati, lisan dan seluruh anggota badan hanya kepada Allah tidak kepada yang lainnya, orang muslim itu bukanlah orang yang taqlid (ikut-ikutan) kepada nenek moyangnya, guru-gurunya yang bodoh dan berjalan di belakang mereka tanpa petunjuk dan tanpa bashirah”.


Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Taisiir Al ‘Aziz Al Hamid, hal 58: “Siapa yang mengucapkan kalimat ini (Laa ilaaha illallaah) dengan mengetahui maknanya, mengamalkan tuntutannya berupa menafikan syirik dan menetapkan wahdaniyyah hanya bagi Allah dengan disertai keyakinan yang pasti akan kandungan maknanya dan mengamalkannya, maka dia itu adalah orang muslim yang sebenarnya. Bila dia mengamalkannya secara dhahir tanpa meyakininya maka dia munafiq, dan bila dia mengamalkan apa yang menyalahinya berupa syirik, maka dia itu kafir meskipun mengucapkannya (Laa ilaaha illallaah)”.

Beliau mengatakan juga dalam kitab yang sama: “Sesungguhnya mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa disertai pengetahuan akan maknanya dan tidak mengamalkan tuntutannya berupa iltizaam dengan tauhid dan meninggalkan syirik serta kufur kepada thaghut maka sesungguhnya pengucapan itu tidak bermanfaat dengan ijma para ulama.”


Syaikh Hamd Ibnu ‘Atieq rahimahullah berkata dalam kitab Ibthalit Tandiid, hal 76: “Para ulama telah ijma bahwa sesungguhnya memalingkan satu dari dua macam doa kepada selain Allah, maka dia itu adalah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammadun Rasulullah, dia shalat, shaum dan dia mengaku muslim”.


Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Mishbahudh Dhalaam,hal 37: “Siapa yang beribadah kepada selain Allah, dan menjadikan tandingan bagi Tuhan-nya, serta menyamakan antara Dia dengan yang lainnya, maka dia itu adalah musyrik yang sesat bukan muslim meskipun dia memakmurkan lembaga-lembaga pendidikan, mengangkat para qadli, membangun mesjid, dan adzan, karena dia tidak berkomitmen dengan (tauhid)nya, sedangkan mengeluarkan harta yang banyak serta berlomba-lomba dalam menampakkan syi’ar-syi’ar amalan, maka itu tidak menyebabkan dia memiliki predikat sebagai muslim, bila dia meninggalkan hakikat Islam itu (tauhid)”.
Dan beliau berkata lagi hal 328: “Islam adalah berkomitmen dengan tauhid berlepas diri dari syirik, bersaksi terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mendatangkan empat rukun Islam yang lainnya”.

Inilah sebagian perkataan ulama tentang Islam dan syirik. Sebelumnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  telah mengisyaratkan dua macam syirik yang akan melanda umat ini secara besar-besaran yaitu syirik ibadatil autsaan (syirkul qubuur/syirik kuburan) dan syirkulluhuuq bil musyrikiin (syirkul qushuur wad dustuur/syirik aturan). Kedua macam syirik ini telah merambah di tengah-tengah umat. Syirik yang pertama adalah syirik mutadayyiniin (syirik orang-orang yang masih rajin beribadah), ini bisa dilihat saat berjubelnya mereka di tempat-tempat dan kuburan-kuburan keramat. Sedangkan syirik yang ke dua adalah syirik ‘ilmaaniyyiin (orang-orang sekuler) dan Islamiyyin (orang-orang yang mengaku dari jama’ah-jama’ah dakwah Islamiyyah yang dengan dalih Mashlahat Dakwah, mereka masuk atau menggunakan sistem syirik yang ada).


Di antara kemusyrikan yang nyata lagi terang, yang sudah merambah dan mengakar adalah demokrasi, di mana intinya adalah yang berhak menentukan hukum dan perundang-undangan itu adalah rakyat atau mayoritas mereka yang menjadi wakilnya, sedangkan di dalam Islam di antara hak khusus Allah adalah hukum dan tasyri’ yang bila dipalingkan kepada selain-Nya maka itu adalah syirik.


Sebelum menjelang tibanya masa pemilihan/pemilu para anggota parlemen (majlis/dewan perwakilan rakyat) yang syirik itu. Parlemen (dewan/majlis) itu ada setelah manusia terfitnah (terpedaya) dengan fitnah demokrasi dan adanya pembelaan secara mati-matian yang dilakukan oleh para pengusungnya dari kalangan thaghut-thaghut  yang mana mereka itu sudah lepas dari ikatan Islam, atau bahkan dibela oleh sebagian kalangan yang katanya ahli agama dan sebagai juru dakwah.[1] Mereka kaburkan kebatilan dengan kebenaran, terkadang mereka menamakan demokrasi ini sebagai kebebasan, terkadang juga mereka menamakannya sebagai syuraa (musyawarah).[2] terkadang mereka berdalih dengan jabatan Nabi Yusuf ‘alaihissalam di sisi rajanya, terkadang mereka berdalih juga dengan kekuasaan Najasyi, dan terkadang berdalih  dengan dalih mashlahat[3] dan istihsan (anggapan baik). Dengan dalih-dalih itu mereka mengaburkan kebenaran dengan kebatilan di hadapan orang-orang bodoh (awam), dan mencampuradukkan cahaya dengan kegelapan, syirik dengan tauhid dan Islam.[4]
 
Syubhat-syubhat itu dengan taufiq Allah telah menjelaskan bahwa demokrasi itu adalah agama baru di luar agama Allah dan ajaran yang berseberangan dengan tauhid, dan juga telah menegaskan bahwa majlis-majlis perwakilannya itu tidak lain kecuali adalah lembaga kemusyrikan dan sarang paganisme yang wajib dijauhi demi merealisasikan tauhid yang merupakan kewajiban hamba terhadap Allah, bahkan wajib berusaha untuk menghancurkan (sarang dan lembaga kemusyrikan) itu, memusuhi orang-orangnya, membenci, dan memeranginya. Semua bukanlah masalah ijtihadiyyah sebagaimana yang sering didengungkan oleh sebagian orang yang suka mengaburkan kebenaran,[5] akan tetapi ini adalah kemusyrikan yang jelas lagi terang dan kekafiran yang nampak lagi tidak diragukan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala hati-hatikan darinya di dalam Al Qur’an, dan telah diperangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama hidupnya.

Wahai muwahhid, berusahalah engkau untuk menjadi bagian dari para pengikut Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para penolong agamanya yang selalu memerangi kemusyrikan dan para pemeluknya. Bersegeralah engkau pada saat keterasingan ini untuk bergabung dengan rombongan kelompok yang selalu menegakkan dienullah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kelompok itu:
(لا تزال طائفةٌ من أُمتي قائمةً بأمر الله لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله)
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku ini yang menegakkan perintah Allah, orang-orang yang mengucilkan dan menyelisihi mereka tidak membuat mereka gentar hingga datang ketentuan Allah”.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk kolompok itu. Segala puji di awal dan di akhir adalah hanya milik Allah.
Ditulis oleh:
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Dalam bukunya “SYIRIK DEMOKRASI / AGAMA DEMOKRASI”


[1] Seperti yang dilakukan oleh sebagian tokoh Ikhwanul Muslimin pada masa sekarang dan partai-partai yang menisbatkan diri kepada Islam, sedangkan Islam itu sendiri berlepas diri dari mereka dan perbuatannya.

[2] Sebagian ulama kaum musyrikin itu sengaja mendalili majlis syirik demokrasi itu dengan ayat-ayat  dan atsar-atsar yang menganjurkan syuraa, layaknya Dawud Ibnu Jirjis yang mendalili perbuatan syirik kubur dengan ayat-ayat tentang perintah mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan perantaraan amal shalih, tak jauh berbeda antara ulama kaum musyrikin itu dengan Dawud Ibnu Jirjis yang sudah divonis kafir mulhid murtad oleh Aimmatuddakwah Tauhid, hanya saja yang menjadi perbedaannya adalah bahwa Dawud Ibnu Jirjis mendalili syirkul qubur (syirik kuburan) sedangkan mereka mendalili syirkul qushur wad dustuur (syirik dewan dan aturan).

[3] Mashlahat pada masa kini telah menjadi thaghut yang disembah oleh sebagian kelompok yang katanya ingin memperjuangkan penegakan hukum Islam dengan dalih mashlahat, maka mereka ikut berkecimpung secara aktif dan melebur dalam dunia syirik demokrasi dan parlemen, qaatalahumullah illaa an yahtaduu.

[4] Shalat, shaum, zakat, haji, qiyamullail, tilawatul qur’an dan amalan ibadah lainnya bila dilakukan oleh orang yang jatuh kedalam satu macam syirik akbar, maka itu semua tidak ada artinya.
• Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah berkata dalam Ad Durar As Saniyyah, 1/113: “Bila amalan kamu seluruhnya hanya bagi Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila ada sesuatu dari amalan itu dipalingkan kepada makhluk maka kamu adalah orang musyrik”.• Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah berkata dalam Syarah Ashli Dinil Islam (lihat dalam Majmu’atut Tauhid, atau ‘Aqidatul Muwahhidin, atau Al Jami’ul Fariid, atau dalam Ad Durar,2/131): “Sesungguhnya orang yang melakukan syirik itu, maka berarti dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang saling bertentangan yang tidak bisa bersatu”.
• Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasanrahimahullah berkata dalam Mishbahudhdhallam,37: “Siapa orangnya menyembah selain Allah, menjadikan tandingan Tuhan-nya, dan menyamakan Allah dengan yang lainnya dalam hak khusus Allah, maka dia itu layak dinamakan orang musyrik yang sesat bukan orang muslim, meskipun dia itu banyak mengelola madrasah (lembaga pendidikan agama), mengangkat para qadli, banyak membangun mesjid, dan mengumandangkan seruan (adzan atau dakwah), karena dia tidak konsisten dengan Islam itu, sedangkan banyaknya berderma harta dan berlomba dalam menampakkan amalan kalau dia itu meninggalkan hakikat Islam itu (tauhid), maka hal itu tidak menjadikan dia berstatus sebagai orang Islam”.
Sedangkan rela, atau ikut bergabung dalam majelis syirik, atau mendukung demokrasi yang intinya penyandaran hukum kepada selain Allah (padahal hukum/tasyri’ itu adalah hak khusus Rububiyyah atau Uluuhiyyah Allah), atau memperindahnya di hadapan manusia, atau menegakkan syubhat untuk membolehkannya, atau bahkan melindunginya, maka itu adalah kekufuran dan kemusyrikan.
• Syaikh Muhammad rahimahullah berkata dalam suratnya kepada Hamd At Tuwaijiriy (Mishbahudhdhalam, 104): “Dan kami hanya mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah dalam uluuhiyyah-Nya setelah jelas bagi dia hujjah akan batilnya syirik, dan begitu juga kami mengkafirkan orang yang memperindah syirik itu di hadapan manusia, atau menegakkan syubhat-syubhat yang batil untuk memperbolehkannya, dan begitu juga (kami mengkafirkan) orang yang menggunakan pedangnya (senjata dan atau kekuatannya) untuk melindungi tempat-tempat kemusyrikan yang di sana Allah disekutukan dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berusaha untuk menghancurkannya”.
Lihat empat macam orang dalam hal itu: Para pelaku (pemainnya), juru dakwah, tokoh intelektual dan para pelindungnya dari kalangan aparat keamanan (tentara/polisi), barisan, dan laskar yang merupakan tameng para thaghut.

[5] Dari kalangan ulama suu’ yang mengobok-obok masalah tauhid. Di antara contoh ulama suu’ ini adalah Doktor Yusuf Al Qardlawiy – semoga Allah memberikan hidayah kepadanya – dia telah memfatwakan saat terjadi gempuran pasukan salib dan kaum murtaddin yang bersekongkol dengan mereka terhadap kaum muslimin di Afghanistan dan pemerintahan Islam Thaliban, dia memfatwakan bahwa tentara muslim Amerika !!! boleh bergabung dengan pasukan salib Amerika untuk memerangi kaum muslimin di Afghanistan dengan dalih bahwa loyalitas nasionalisme dan kebangsaan harus didahulukan atas loyalitas agama dan aqidah. Al Qardlawi dengan fatwa ini telah terjatuh dalam dua pembatal keislaman: Pertama dia membolehkan dan menghalalkan sesuatu yang sudah jelas lagi pasti keharamannya (bahkan kekufurannya), yaitu mendukung orang-orang musyrik untuk menindas kaum muslimin. Ke dua dia telah mendahulukan loyalitas nasionalisme dan kebangsaan atas agama dan ‘aqidah Islamiyyah. Di samping itu diapun bersama-sama dengan pasukan salib memikul setiap tetes darah kaum muslimin yang tertumpah di Afghanistan. Inikah ‘aqidah orang yang menjadi rujukan segala hukum di kalangan Islamiyyin yang mengusung parlemen.