1.
PEMBANTAIAN KAUM MUSLIMIN DI TANJUNG PRIOK OLEH TENTARA INDONESIA
Kronologi Pembantaian Kaum Muslimin Oleh Bala Tentara pada Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi
Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani Abdul Qadir Djaelani adalah
salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang
dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit
banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan
kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September
1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam
Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
~Tanjung Priok, Sabtu,
8 September 1984~
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu,
memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam
(masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari
Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat
tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada
jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984 Beberapa anggota
jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang
mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai
oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul
mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha
penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan
tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas
Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah
tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di
antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
~Tanjung
Priok, Selasa, 11 September 1984~
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak
bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah
seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
~Tanjung
Priok, Rabu, 12 September 1984~
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja
Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa
Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir
Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan
tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya,
jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada
kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan
solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim.
Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak
bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung
risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau
adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita
(yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian
dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter
jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam
posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah
pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!”
Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar!
Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan
senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di
hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu
bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi
syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis.
Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati
ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk
besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan.
Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata
otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di
pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas
jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah
tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan
raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah
dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam
yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah
militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan
melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah
mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena
tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat
jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans
dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah
di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang
menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari
kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan,
dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian
itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor
Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang
keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan
jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah
pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka
berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis.
Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan
saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk
militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu
dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa
ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan
bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron
berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat
saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung
Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB
Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib
yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu
mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11
September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan
Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga,
Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian
di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan
membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di
saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12
September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor
Satgas Intel Jaya.
2. PEMBANTAIAN KAUM MUSLIMIN DI
TALANGSARI OLEH TENTARA INDONESIA
~Januari Minggu II 1989~
Perpindahan sejumlah warga dari kota Solo, Boyolali,
Sukoharjo, Jakarta dan beberapa tempat di Jawa Barat ke Dusun Cihideung, Desa
Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah.
~Rabu, 12
Januari 1989~
Lewat surat bernomor 25/LP/EBL/I/1989, Kepala Desa Rajabasa
Lama, Amir Puspa Mega, setelah mendapat informasi dari Kadus Talangsari, Sukidi
dan kaum melaporkan kegiatan jama’ah Talangsari yang disebutnya sebagai
pengajian yang dipimpin Jayus dan Warsidi tanpa ada laporan ke pamong setempat
ke Camat Way Jepara, Drs. Zulkifli Maliki.. Surat ditembuskan ke Danramil dan
Kapolsek Way Jepara.
Hari itu juga Camat Way Jepara membalas surat Kades
Rajabasa Lama lewat surat bernomor 451.48/078/09/331.1/1989 yang memerintahkan
3 hal, yaitu:
- Kades agar menghadap Camat hari
ini juga dengan membawa 4 orang yang anamanya tercantum dibawah ini.
- Orang-orang tersebut adalah: Jayus,
Warsidi, Mansur (Kaum setempat) dan Sukidi (Kadus Talangsari III).
- Kades harus menghentikan dan
melarang adanya kegiatan pengajian tersebut. Apalagi mendatangkan
orang-orang dari luar daerah yang tidak diketahui/sepengetahuan
pemerintah.
Surat yang akhirnya diantar oleh Sukidi tersebut
juga ditembuskan kepada Danramil dan Kapolres Way Jepara.
~Jum'at, 20
Januari 1989~
Warsidi mengirim surat balasan yang isinya menjelaskan 3 hal:
- Tidak bisa hadir dengan alasan
kesibukan memeberi materi pengajian di beberapa tempat.
- Memegang hadits yang berbunyi
“Sebaik-baiknya umaro ialah yang mendatangi ulama dan seburuk-suruknya
ulama yang mendatangi umaro.”
- Mempersilahkan camat untuk
datang mengecek langsung ke Cihideung agar lebih jelas.
~Sabtu, 21 Januari 1989~
Warsidi menjelaskan orang-orang yang datang ke Talang Sari
kepada Camat, Kades Rajabasa Lama, Kadus Talangsari beserta staf pamong praja
seluruhnya sekitar 7 orang yang pada saat itu datang meninjau lokasi
transmigrasi di Talang Sari. Pertemuan yang berakhir dengan baik dan memenuhi
keinginan yang dimaksud oleh kedua belah pihak, membicarakan konfirmasi camat
soal surat balasan Warsidi dan ditutup dengan undangan camat kepada warsidi.
~Minggu, 22 Januari
1989~
Tengah malam, Sukidi, Serma Dahlan AR dan beberapa orang
aparat keamanan mendatangi perkampungan, Sukidi dan Serka Dahlan yang
bersenjata api masuk ke Musholla al Muhajirin tanpa membuka sepatu laras dan
Serma Dahlan AR mencaci maki, mengumpat dengan perkataan “ajaran jama’ah itu
bathil, menentang pemerintah, perkampungannya akan dihancurkan” bahkan
mengacungkan senjata api dan menantang para jama’ah. Sekitar 10-an orang jama’ah
yang antara lain terdiri dari Arifin, Sono, Marno, Diono, Usman berusaha
menahan diri untuk tidak terpancing. Setengah jam kemudian melihat tidak ada
respon dari jama’ah, kedua aparat tersebut pergi meninggalkan musholla.
~Kamis, 26
Januari 1989~
Kepala Desa Labuhan Ratu I melayangkan surat bernomor
700.41/LI/I/89 Camat Zulkifli soal Usman, anggota jama’ah Warsidi yang dianggap
meresahkan pondok pesantren Al-Islam.
~Jum’at, 27
Januari 1989~
Camat Zulkifli mengirim surat bernomor 220/165/12/1989 kepada
Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Sutiman untuk meneliti Usman, Jayus dan Anwar
yang dalam surat tersebut menurut mereka ketiga orang tersebut mengadakan
kegiatan mengatasnamakan agama tanpa sepengetahuan pemerintah. Dalam surat yang
ditembuskan ke Kapolsek dan Kepala KUA Way Jepara, Kades Labuhan Ratu I dan
Rajabasa Lama
~Sabtu, 28
Januari 1989~
Kapt. Sutiman memerintahkan Kades Labuhan Ratu I, Kades
Lanuhan Ratu Induk dan Kades Rajabasa Lama lewat surat bernomor B/313/I/1989
agar menghadapkan ketiga orang jama’ah tersebut pada hari Senen, 30 Januari
1989 atau selambat-lambatnya 1 Februari 1989. Surat yang ditembuskan kepada
Dandim 0411 Metro, oloto pimpinan kecamatan Way Jepara dan Kepala KUA Way
Jepara meminta Sukidi untuk menyerahkan daftar nama-nama jema’ah yang pernah
dicatatnya bersama Bagian Tata Usaha Koramil 41121 Way Jepara.
~Minggu, 29
Januari 1989~
Jama’ah memperoleh informasi mengenai keputusan Muspika untuk
menyerbu perkampungan jama’ah di Cihideung dari Imam Bakri, Roja’I suami ibu
lurah Sakeh, salah seorang lurah yang mengikuti pertemuan tersebut. Informasi
itu juga diterima jama’ah lainnya yaitu: Joko dan Dayat lewat salah seorang
anggota Koramil 41121 Way Jepara yang mengingatkan bahwa dalam minggu-minggu
ini perkampungan akan diserbu. Tak lama kemudian Jayus, salah seorang jama’ah
menyaksikan Kepala desa Cihideung dan masyarakat yang berada disekitar
perkampungan mengungsi karena tidak merasa melanggar peraturan, jama’ah tetap
tinggal di Cihideung untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan, jama’ah
melaksanakan ronda malam.
~Rabu, 1 Februari 1989~
Kades Rajabasa Lama mengirim surat dengan nomor
40/LP/RBL/1989 kepada Danramil 41121 Way Jepara, Kapt. Sutiman yang meminta
untuk membubarkan pondok pesantren jama’ah dengan alasan pengajian gelap dan
para anggota jama’ah telah menanti kedatangan aparat untuk memeriksa mereka
dengan mempersiapkan bom Molotov. Surat tersebut ditembuskan kepada Kapolsek
dan Camat Way Jepara.
Mendapat surat tersebut Kapt. Sutiman langsung
menyurati Dandim 0411 Metro dengan nomor surat B/317/II/1989 yang isinya antara
lain melaporkan informasi-informasi yang diterima, meminta petunjuk untuk
mengambil tindakan dalam waktu dekat dan menyarankan agar menangkapi kesemua
jema’ah pada waktu malam hari. Surat tersebut ditembuskan kepada Muspika Way
Jepara, Danrem 043 Garuda Hitam di Tanjung Karang, Kakansospol TK II Lampung
Tengah dan Kakandepag TK II Lampung Tengah.
~Kamis, 2 Februari 1989~
Camat Zulkifli menyampaikan informasi lewat surat bernomor
220/207/12/1989 kepada Bupati KDH TK II dan Kakansospol Lampung Tengah yang
melaporkan seluruh perkembangan yang mereka dapatkan dan aksi kordinasi dengan
Muspika Way Jepara untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya.
Pada saat yang sama di pondok Cihideung sekitar Pk
12.00 siang, ank e lelaki tak dikenal dengan ank –ciri fisik sangat kekar
singgah di pondok. Orang tersebut mengaku habis melihat ladangnya di sekitar
Gunung Balak lengkap dengan golok dan pakaian petani yang biasa ke ank e.
Selama di perkampungan orang tersebut sempat makan dirumah Jayus, sholat dhuhur
berjama’ah, mendengarkan ceramah di mushola Mujahidin dan bolak-balik dari ank
e rumah Jayus-Mushola. Jama’ah menyambut baik tanpa rasa curiga.
~Minggu, 5
Februari 1989~
Sekitar pukul 23.45 – petugas yang terdiri dari Serma Dahlan
AR (Ba Tuud Koramil 41121 Way Jepara), Kopda Abdurrahman, Ahmad Baherman
(Pamong Desa), Sukidi (Kadus Talangsari III), Poniran (Ketua RW Talangsari
III), Supar (Ketua RT Talangsari III) dibantu masyarakat yaitu, Kempul, Sogi
dan 2 orang lainnya menyergap salah satu pos ronda jama’ah. 7 orang jama’ah
yaitu: Sardan bin Sakip (15 th), Saroko bin Basir (16 th), Parman bin Bejo (19
th), Mujiono bin Sodik (16 th), Sidik bin Jafar (16 tahun), Joko dan Usman
ditangkap, Joko terluka parah dihantam popor senjata. Tapi kemudian Joko dan
Usman berhasil meloloskan diri.
Malam itu juga, Warsidi dan sekitar 20-an jama’ah berkumpul
dan mengirim 11 orang jama’ah: Fadilah, Heriyanto, Tardi, Riyanto, Munjeni,
Sugeng, Muchlis, Beni, Sodikin, Muadi dan Abadi Abdullah untuk membebaskan
kelima orang jama’ah yang ditangkap.
~Senin, 6
Februari 1989~
Pukul 08.30 – Serma Dahlan AR menyerahkan ke lima orang
tersebut ke Kodim 0411 Metro. Kemudian Kasdim Mayor Oloan Sinaga mengirim
berita ke Muspika dan melapor ke Danrem 043 Gatam tentang rencana penyergapan
lanjutan ke Cihideung.
Pukul 09.30 – Kasdim bersama 9 anggotanya antara
lain Sertu Yatin, Sertu Maskhaironi, Koptu Muslim, Koptu Sumarsono, Koptu
Taslim Basir, Koptu Subiyanto dan Pratu Kastanto (pengemudi jeep), Pratu Idrus
dan Pratu Gede Sri Anta, tiba di Rajabasa Lama.
Muspika menyampaikan situasi dan keadaan di lokasi
Talangsari III, Kasdim oloto petunjuk dan pengarahan kepada rombongan sebelum
berangkat ke lokasi.
Sekitar Pukul 11.00 – Rombongan bersama Muspika,
Kades Rajabasa Lama, Kadus Talangsari III dengan menggunakan 2 buah Jeep dan 5
buah sepeda motor Danramil Way jepara Kapten Sutiman, beserta 2 regu
pasukannya, menyerbu Cihideung. Tanpa didahului dialog dan memberikan
peringatan terlebih dahulu, mereka menembaki perkampungan pada saat jama’ah
baru tiba dari sawah dan oloto. Penyerbuan diawali dengan tembakan 1 kali dari
rombongan aparat. Kemudian disambut pekik takbir oleh jama’ah. Pekik takbir itu
dibalas dengan tembakan beruntun oleh aparat. Melihat serbuan olotov,
masyarakat yang masih berpakaian dan memegang alat-alat pertanian seperti
cangkul, parang, golok dan lain-lain berusaha mempertahankan diri. Dalam
penyerbuan yang berlangsung sekitar setengah jam. Kapten Sutiman tewas, sertu
Yatin cedera, Mayor Sinaga dan pasukannya kabur, Jeep dan 4 sepeda motor
ditinggal dilokasi. Dipihak jama’ah, dua orang cedera berat. Ja’far tertembak
dan jama’ah dari Jawa Barat cedera dibacok Sutiman yang membawa senjata api dan
senjata tajam sekaligus.
Pukul 12.30 – Rombongan Sinaga sampai di Puskesmas
untuk menyerahkan Sertu Yatin lalu melaporkan kejadian tersebut ke Korem 043
Gatam dan Polres Lampung Tengah.
Pukul 14.00 – Fadilah mewakili kelompok 11
melaporkan kegagalan upaya pembebasan 5 orang yang disergap karena kesiangan.
Fadilah kemudian diperintahkan Warsidi ke Zamzuri
di Sidorejo untuk mengabarkan:
- berita serbuan Danramil dan
terbunuhnya Kapt. Sutiman;
- Instruksi untuk membuat aksi
yang dapat mengalihkan perhatian aparat agar mereka dapat mengungsi dan
menyelamatkan diri dari kemungkinan adanya rencana penyerbuah lanjutan.
Pukul 15.00 – Wakapolres Lampung Tengah bersama anggotanya
tiba di Rajabasa Lama.
Pukul 17.00 – Kasrem 043 Gatam, Letkol Purbani bersama
anggotanya tiba di Rajabasa Lama dan memimpin pengintaian. Pada saat yang sama,
Fadila tiba di Sidorejo.
Pukul 18.00 – Bupati Lampung Tengah Pudjono Pranyoto bersama
rombongan tiba di Rajabasa Lama.
Pukul 18.30 – Danrem 043 Gatam, Kolonel
Hendropriyono beserta pasukan tiba di Rajabasa Lama.
Pukul 20.30 – 11 orang jama’ah mencarter Bus Wasis untuk
digunakan sebagai transportasi ke Metro. Didalam bus tersebut jama’ah menemukan
Pratu budi Waluyo. Setelah terjadi dialog, Pratu Budi mengaku berasal dari Way
Jepara. Karena dianggap termasuk orang yang menculik 5 orang jama’ah anggota
TNI itu dibunuh. Mayatnya dibuang didaerah Wergen antara Panjang dan Sidorejo.
Jema’ah juga mencederai supir dan kenek bus tersebut.
Pukul 24.00 – Riyanto melemparkan bom olotov ke kantor
redaksi Lampung Pos yang memberitakan kasus secara tidak berimbang dan
cenderung mendeskreditkan korban. Aksi tersebut juga memang diniatkan untuk
mengalihkan perhatian aparat.
~Selasa, 7 Februari
1989~
Pukul 24.00 -- Terdengar 2 kali suara tembakan dari arah
Timur. Sugeng (jama’ah Jakarta) membalas sekali tembakan dengan pistol yang
ditinggal tewas Kapt. Soetiman.
Pukul 03.00 -- Salim seorang jama’ah yang melakukan
ronda di pos sebelah selatan memergoki 2 orang tentara yang ingin mendekat ke
lokasi jama’ah. Karena dipergoki kedua orang tentara tersebut melarikan diri.
Pukul 05.30 -- Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Hendropriyono
bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi
Brimob, CPM dan Polisi setempat mengepung dan menyerbu perkampungan Cihideung
dengan posisi tapal kuda. Dari arah Utara (Pakuan Aji), Selatan (Kelahang)
& timur (Kebon Coklat, Rajabasa Lama). Sementara arah barat yang ditumbuhi
pohon singkong dan jagung dibiarkan terbuka.
Pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar
(napalm), granat dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat. Melihat
penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jama'ah
untuk meyelamatkan diri, jama'ah hanya bisa membentengi diri dengan membekali
senjata seadanya. Tanpa ada dialog dan peringatan, penyerangan dimulai.
Pukul 07.00 -- Karena kekuatan yang tidak seimbang, pasukan
yang dipimpin mantan menteri Transmigrasi berhasil menguasai perkampungan
jama'ah dan memburu jama'ah. Dalam perburuan itu, aparat memaksa Ahmad (10 th)
anak angkat Imam Bakri sebagai penunjuk tempat-tempat persembunyian dan orang
yang disuruh masuk kedalam rumah-rumah yang dihuni oleh ratusan jema’ah yang
kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak. Setelah menggunakan Ahmad, aparat
berhasil mengeluarkan paksa sekitar 20 orang ibu-ibu dan anak-anak dari pondok
Jayus. Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah melihat
sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini hasil serangan aparat sejak
pukul 05.30 tadi pagi.
Setelah dikumpulkan ke-20-an ibu-ibu dan anak-anak
dipukul dan ditarik jilbabnya sambil dimaki-maki aparat “Ini istri-istri PKI”.
Didepan jama’ah seorang tentara mengatakan “Perempuan dan anak-anak ini juga
harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”.
Pukul 07.30 -- Tentara mulai membakar pondok-pondok
yang berisi ratusan jama’ah dan anak-anak rumah panggung. dengan memaksa Ahmad
menyiramkan bensin dan membakarnya. Dibawah ancaman senjata aparat, Ahmad
berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok
pesantren dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang terdiri dari
bayi, anak-anak, ibu-ibu banyak diantaranya yang masih hamil, remaja dan orang
tua dibakar disertai dengan tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara
teriakan lainnya.
Sambil membakar rumah-rumah tersebut, Purwoko (10
th) dipaksa aparat untuk mengenali wajah Warsidi dan Imam Bakri diantara
mayat-mayat jama’ah yang bergelimpangan. Mayat Pak War dan Imam Bakri ditemukan
setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat.
Pukul 09.30 -- Setelah ditemukan, kedua mayat tersebut
kemudian diterlentangkan di pos jaga jama’ah dengan posisi kepala melewati tempat
mayat tersebut diterlentangkan (mendenga’-leher terbuka-). Tak berapa lama,
seorang tentara kemudian menggorok leher kedua mayat tersebut.
Pukul 13.00 -- Kedua puluhan ibu dan anak-anak tadi
kemudian berjalan kaki sekitar 2 Km untuk dibawa ke Kodim 0411 Metro .
Pukul 16.00 -- Hendropriyono mengintrogasi ibu-ibu
tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan: Ikut pengajian apa? Apa yang diajarkan?
Gurunya siapa? Dan menerangkan bahwa jama’ah Warsidi batil karena menentang
Pancasila dan mengamalkan ajaran PKI.
Pukul 17.00 -- Jama’ah kemudian dimasukan kedalam
penjara.
Sementara di Sidorejo pada pagi harinya atas
informasi, Sabrawi, supir bis Wasis, aparat bersama warga mengepung rumah
Zamjuri. Bersama Zamzuri ada 8 orang jema’ah yaitu: Munjeni, Salman Suripto,
Soni, Diono, Roni, Fahrudin, Isnan dan Mursalin Karena dituduh perampok oleh
aparat, terjadilah bentrok dengan Polsek Sidorejo. Serma Sudargo (Polsek
Sidorejo), Arifin Santoso (Kepala Desa Sidorejo) tewas. Dipihak jama'ah, Diono,
Soni dan Mursalin tewas.sedangkan Roni terluka tembak.
~Kamis, 9
Februari 1989~
Pukul 08.40 -- Jama'ah yang marah mendengar kebiadaban dan
penahanan jama’ah di Kodim 0411 Metro tersebut menyerbu Kodim dan Yonif 143.
Dalam penyerbuan itu, 6 orang jama'ah tewas. Sedangkan dipihak aparat pratu
Supardi, Kopda Waryono, Kopda Bambang Irawan luka-luka terkena sabetan golok. 1
sepeda motor terbakar dan kaca depan mobil kijang pick up pecah.
Dua minggu kemudian Tahanan ibu-ibu di Kodim dipindahkan ke
Korem 043 Gatam. Di Korem, Hendropriyono memerintahkan anak buahnya untuk
melepas paksa jilbab-jilbab ibu-ibu jama’ah sambil berkata “tarik saja, itu
hanya kedok”.
Penangkapan sisa-sisa anggota jama'ah oleh aparat
dibantu masyarakat oleh operasi yang disebut oleh Try Sutrisno Penumpasan hingga
keakar-akarnya.
Penangkapan para aktivis islam di Jakarta, Bandung,
solo, Boyolali, mataram, Bima & dompu melalui operasi intelejen yang
sistematis yang banyak diantaranya sama seklai tidak mengetahui kejadian.
Data Korban hasil verifikasi investigasi Kontras 2005, yakni
:
- Korban Penculikan : 5 orang
- Korban Pembunuhan di luar proses
hukum : 27 orang
- Korban Penghilangan Paksa : 78
orang
- Korban Penangkapan
Sewenang-wenang : 23 orang
- Korban Peradilan yang Tidak
Jujur : 25 orang
- Korban Pengusiran (Ibu dan Anak)
: 24 orang
3. SEDERET KISAH PEMBANTAIAN KAUM
MUSLIMIN OLEH TENTARA INDONESIA
Di negeri dimana mereka menjadi mayoritas, umat Islam terus
dizalimi. Apatah lagi di tempat mana mereka hanya merupakan bagian terkecil.
Negeri ini memang belum bisa bersahabat dengan anaknya sendiri.
Kasus Poso yang kembali bergolak sejak deklarasi
Malino tahun 2001 seakan menjadi pemantik bara kebencian yang sempat padam itu.
Aparat keamanan bertindak represif kala menghadapi warga yang mempersiapkan
diri menyambut Idul Fitri. Kota Poso yang sempat tenang beberapa tahun lamanya,
sejak pertikaian berdarah yang menumpahkan darah ratusan umat Islam di tahun
1998, kembali memanas usai eksekusi mati Tibo cs.
Seperti malam itu, Ahad (22/10/2006) ketika
beberapa warga berkumpul guna mempersiapkan tempat shalat I’ed di tanah lapang
di Kelurahan Gebang Rejo, Kota Poso. Keramaian ini mengundang perhatian puluhan
anggota Brimob. Mereka berdatangan mendekati warga.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan ke udara. Warga
pun mendatangi Pos Kepolisian Masyarakat (Polmas) Kelurahan Gebang Rejo. Tak
dinyana, anggota polisi di pos tidak berbuat apa-apa kala aparat Brimob
melepaskan tembakan.
Pos Polmas pun dilempari batu, namun anggota Brimob
membalasnya dengan melepaskan tembakan. Bukan lagi ke udara, tapi ke arah
warga. Dua orang seketika roboh bersimbah darah. Padahal warga tidak melakukan
perlawanan. Korban yang tertembak segera dilarikan ke RSUD Poso.
Sayang, salah seorang korban bernama Udin (22)
meninggal karena terkena tembakan di bagian leher dan dadanya. Sedangkan,
korban satunya, Muhammad Rizki (29) berhasil diselamatkan walau terkena
tembakan di bagian dada dan perutnya.
Keesokan harinya, ketika warga tengah mengantar
jenazah Udin ke pemakaman, anggota Brimob kembali melepaskan tembakan karena
diteriaki. Dua orang warga kembali tersungkur bersimbah darah. Sebegitu
mudahnya aparat keamanan menembaki umat Islam, ada apa gerangan?
Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah, AKBP M
Kilat mengatakan, anggota Brimob hanya membela diri saat warga mulai bertindak
anarkis dengan melakukan pelemparan.
Penembakan dan pembantaian terhadap umat Islam oleh
aparat keamanan yang notabene alat negara bukan kali ini saja terjadi.
Sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini, kisah tragis yang dialami kaum
Muslimin seolah tiada henti. Tengok saja peristiwa Tanjung Priok, Talangsari
(Lampung) hingga tragedi Haur Koneng.
Dalam peristiwa Tanjung Priok pada tanggal 12
September 1984, ratusan umat Islam yang sedang berunjuk rasa menjadi korban
kebrutalan aparat keamanan. Selain korban meninggal, korban luka yang masih
hidup pun harus menderita seumur hidup karena cacat akibat tembakan membabi-buta
yang dilancarkan personil ABRI.
Hanya karena menolak Pancasila dijadikan azas
tunggal, kaum Muslimin dibantai secara keji oleh rezim Soeharto yang tengah
berkuasa pada waktu itu. Selain menjadi korban pembantaian, beberapa ulama juga
dijebloskan ke balik jeruji besi lantaran dianggap ‘memprovokasi’ warga untuk
menolak azas tunggal, “sesembahan” Orde Baru.
Hingga saat ini penyelesaian hukum kasus Priok
ibarat menggantang asap. Sia-sia belaka. Meski telah terjadi beberapa kali
persidangan, tetap saja mereka yang bertanggungjawab tidak pernah tersentuh
hukum. Di tengah upaya penegakan hukum kasus Priok, beberapa tokoh puncak ABRI
(kini TNI) mencoba mendekati korban maupun keluarga mereka guna melakukan
ishlah (perdamaian). Dikabarkan, para korban tragedi Priok mendapatkan duit
sebesar Rp 1 miliar sebagai kompensasi ishlah.
Lima tahun kemudian, pembantaian terhadap umat
Islam terjadi lagi, tepatnya pada tanggal 7 Pebruari 1989, lokasinya di Dusun
Talangsari III Bandar Lampung. Tragedi kemanusiaan yang merenggut 280 nyawa itu
kemudian dikenal dengan pembantaian Talangsari. Peristiwa keji ini bermula dari
kecurigaan Camat Way Jepara, Zulkifli akan adanya pengajian yang mencurigakan
di Dukuh Cihideung, Talangsari. Sang Camat mengirim surat kepada Danramil Way
Jepara, Kapten Soetiman.
Pada tanggal 7 Februari, sekitar pukul 05.30
pengajian Islam yang dipimpin Anwar Warsidi itu didatangi tiga pleton prajurit
Korem 043 Garuda Hitam dibantu 50 personel Brimob. Tanpa ampun, aparat keamana
dari ABRI/Polri itu pun melakukan pembantaian terhadap anggota jamaah. Warsidi
sendiri tewas diterjang peluru. Gubuk-gubuk milik jamaah pengajian dibakar
habis.
Aksi tak berprikemanusiaan aparat keamanan
dilakukan karena Warsidi dan jamaahnya dianggap melakukan makar. Melawan
Pancasila dan azas tunggal. Sama dengan kasus Tanjung Priok, hingga kini
tragedi Talangsari juga belum menemukan titik terang tentang siapa yang harus
bertanggung jawab atas melayangnya ratusan nyawa umat Islam itu.
Empat tahun kemudian, tepatnya 28 Juli 1993, seakan
tak bosan, aparat keamanan (negara) kembali melakukan pembantaian secara keji
terhadap umat Islam. Yang menjadi korban adalah warga Desa Sirnagalih,
Kecamatan Lemah Abang, Majalengka, Jawa Barat. Tuduhan atas mereka sama saja;
makar dan sesat. Padahal warga di sana hanya mengikuti pengajian Islam yang
dipimpin oleh Abdul Manan, seorang pemuda yang dituding sesat oleh penguasa.
Memang, Manan dan jamaahnya hidup agak terpisah
dengan warga sekitar. Mereka menerapkan falsafah “rampak seribu” alias hidup
mandiri dengan membuat lingkungan sendiri untuk menerapkan ajaran Islam.
Di tengah persawahan yang jauh dari penduduk Manan
mendirikan padepokan dan mushola sebagai sarana belajar mengaji. Yang dikaji
antara lain, kitab safinatun najaa dan sullamut taufiq karangan Imam
al-Bantani. Kedua kitab tersebut berisi tentang tatacara thaharah (bersuci),
rukun shalat, puasa, zakat dan haji.
Hari Rabu, 28 Juli empat truk tentara dan satu truk
Brimob yang didatangkan dari Cirebon membumihanguskan padepokan Manan. Sebanyak
5 orang penduduk tewas, 8 orang lainnya luka berat, termasuk anak-anak dan
balita. Sang pemimpin jamaah, Abdul Manan, tewas seketika akibat terjangan
peluru aparat.
Perlakuan represif ini bermula ketika salah seorang
anggota Manan menolak dipanggil aparat setempat. Pemanggilan ini dilakukan
untuk interogasi tentang segala kegiatan di padepokan tersebut. Tak ayal, baku
hantam pun terjadi seketika yang berujung pada pembantaian. Peristiwa berdarah
ini juga dikenal dengan sebutan “Haur Koneng”, karena konon jamaah Manan selalu
membawa bambu kuning setiap bepergian.
Kini, ingatan kelam akan perlakuan aparat keamanan
kembali menyeruak ketika Brimob dengan mudahnya memuntahkan peluru guna
mengamankan unjuk rasa yang dilakukan umat Islam Poso. Tuduhan yang disematkan
pun bukan hanya sekedar makar atau subversif, tapi terorisme.
Akankah tragedi berdarah di Tanjung Priok,
Talangsari maupun Haur Koneng akan terulang kembali? Apalagi jika melihat semua
kasus di atas yang selalu melibatkan aparat keamanan dari unsur Polri itu.
JADI … WASPADALAH...!
WASPADALAH..!!
4. KRONOLOGI
PEMBANTAIAN KAUM MUSLIMIN ACEH DI SIMPANG KKA TAHUN 1999 OLEH TENTARA INDONESIA
Tanggal 3 Mei punya banyak makna bagi warga Aceh Utara, dan
juga bagi masyarakat Aceh pada umumnya. Tanggal tersebut selain bermakna
resistensi atau perlawanan rakyat melawan negara, juga sebuah kenangan buruk,
betapa negara begitu semena-mena terhadap rakyatnya. Karenanya, saban
tahun—meski tak rutin karena kondisi Aceh tak selalu kondusif untuk mengenang
tragedi—warga Aceh Utara khususnya para korban tragedi Simpang KKA
memperingatinya.
Sekedar merawat ingatan, Senin, 3 Mei 1999 atau
sebelas tahun silam, banyak darah berceceran di sekitar simpang PT KKA. Jeritan
dan tangisan para korban memecah telinga siapa saja yang pernah mendengar. Saat
itu, harga peluru tentara begitu murahnya, karena bisa dihambur-hamburkan dengan
sangat mudah. Setelah itu, puluhan mayat dan ratusan korban tergelatak, ada
yang sudah kaku, banyak juga yang masih bernyawa sambil merintih, yang lainnya
berlarian seperti dikejar air tsunami, mencari tempat yang bisa dijadikan
tempat berlindung.
Saat tragedi itu, korban luka-luka tak terhitung.
Hanya data yang dikumpulkan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) Aceh Utara menyebutkan
115 orang mengalami luka parah, sementara 40 orang lainnya meninggal dunia.
Dari jumlah itu, ada 6 orang masih sangat kanak-kanak, termasuk Saddam Husein
(7 tahun) menjadi korban kebuasan aparat negara.
Sementara data yang dikeluarkan Koalisi NGO HAM
Aceh, menyebutkan sekitar 46 orangmeninggal (dua orang meninggal ketika
menjalani perawatan di RSUZA Banda Aceh), sebanyak 156 mengalami luka tembak,
dan 10 orang hilang dalam insiden tersebut.
Meskipun banyak pihak melupakan peristiwa itu,
tidak bagi para korban. Jamaluddin, misalnya, sampai sekarang masih terkenang
dengan tragedi paling kejam dalam hidupnya. Jamal, kelahiran Sawang, Aceh Utara
mengisahkan, bahwa saat peristiwa itu terjadi, dirinya melihat banyak sekali
korban tembakan yang rubuh. Jamal juga mendengar jeritan tangis dari para ibu
dan bapak yang melihat warga tertembak.
Jamal sendiri mengaku, saat tragedi itu, tubuh-tubuh
warga yang kena tembakan jatuh menindihnya. Dengan sisa tenaga yang ada,
mayat-mayat diambil dan diletakkan di tempat yang layak. Jamal mengaku, tak
tahu harus berkata apa saat itu. Jamal, sendiri luput dari maut.Jamal berharap
Pemerintah Aceh tidak melupakan peristiwa itu. Kalau memang ini pelanggaran
HAM, pelakunya harus diadili. Karena itulah keadilan bagi korban.
~Kronologi
Peristiwa~
*Sebelum
Kejadian
Jumat malam, 30 April 1999, Sekitar jam 20.30 WIB masyarakat
Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati
1 Muharram yang bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan,
peringatan 1 Muharram yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Islam di
manapun di seluruh Propinsi Aceh, disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka
(GAM).
Lalu muncul kabar bahwa seorang anggota TNI dari
kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berpangkat Sersan, bernama Adityawarman,
hilang saat melakukan penyusupan di tengah kegiatan ceramah (Keterangan
Kapuspen TNI, nama anggotanya yang hilang itu adalah Sersan Kepala Edi, dari
Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara).
Tidak jelas apakah anggota TNI itu benar hilang
atau terjadi berbagai kemungkinan lainnya, tetapi yang pasti tidak satupun dari
penduduk yang mengetahui keberadaannya. Dan yang pasti lagi, malam itu tidak
terjadi apa-apa yang berarti di Desa Cot Murong.
Sabtu malam,
1 Mei 1999 -- Sebuah truk militer dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom
berputar-putar dikawasan Desa Cot Murong dengan aktivitas yang tidak jelas,
tetapi hari itu tidak terjadi apa-apa.
Minggu pagi,
2 Mei 1999 -- Mulai pukul 05.00 WIB pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom
mulai melakukan operasi di kawasan Desa Cot Murong. Pada minggu pagi itu
masyarakat sedang melakukan persiapan pelaksanaan kenduri memberi makan untuk
anak-anak yatim sehubungan dengan pringatan 1 Muharram yang dilaksanakan sejak
Jumat malam sebelumnya. Masyarakat memotong 4 ekor lembu di halaman Masjid
Al-Abror, Cot Murong.
Pada saaat itulah, sekitar jam 11.00 WIB datang
pasukan Den Rudal ke tempat kenduri dan dengan dalih menanyakan anggotanya yang
hilang sehari sebelumnya mulai memuli warga setempat. Dilaporkan, waktu itu ada
tidak kurang 20 orang yang dianiaya oleh anggota TNI tersebut. Praktek
kekerasan dan penganiayaan dengan bertindak kasar, menampar dan memukuli hingga
cedera, telah terjadi.
Ketika sedang melancarkan aksinya, penduduk sempat
mencatat kata-kata yang dikeluarkan para anggota TNI yaitu "AKAN KAMI
TEMBAK SEMUA ORANG ACEH APABILA SEORANG ANGGOTA KAMI TIDAK DITEMUKAN".
Menyadari kondisi yang mulai mencemaskan tersebut kemudian
para warga dari Desa Murong dan desa-desa tentangga seperti Desa Lancang Barat,
Kecamatan Nisam dan Paloh Lada, yang terdiri dari pemuda, wanita, orang tua
serta anak-anak berkumpul untuk mencegah kemungkinan penganiayaan lebih lanjut,
apalagi aparat militer telah mengeluarkan ancaman yang cukup menakutkan.
Tiba-tiba, pada pukul 13.00 WIB datang lagi pasukan
tambahan yang terdiri dari 7 truk anggota TNI ke lokasi kenduri. Melihat itu,
masyarakat yang telah berkumpul dari berbagai penjuru Kecamatan mencoba
menghadang.
Tepat pukul 14.00 WIB terjadi negosiasi (membuat
perjanjian) antara masyarakat Kecamatan Dewantara dengan Danramil Kecamatan
Dewantara yang diketahui pihak MUI Kecamatan, yang isinya: "TNI tidak akan
datang lagi ke Desa Cot Murong dengan alasan apapun".
*Saat
Kejadian
Minggu malam, 2 Mei 1999. Masyarakat desa mengetahui adanya
penyusupan anggota TNI antara jam 20.00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong
dan Desa Lancang Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang
diperkirakan milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa
Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai
waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan
sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.
Senin pagi,
3 mei 1999 -- Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi
memasuki Desa Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang
berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang
(tanpa senjata api). Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang
KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan
negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah
disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI
tidak lagi melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu
beralangsung cukup lama. Waktu sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.
Untuk menunjukkan kesungguhan hati dan permohonan
yang sangat besar agar pasukan segera ditarik dan pihak TNI menghormati
perjanjian yang telah dibuat, Camat Marzuki Amin sempat mencopot tanda jabatan
dari dadanya. Tetapi malah sang Camat kemudian dipukuli oleh tentara.
Pada saat itu tiba-tiba satu truk milik TNI
bergerak dan sambil berlalu, dari atas truk para tentara melempari batu ke arah
masyarakat, dan masyarakat yang terpancing balas melempari batu ke atas truk.
Pada saat yang hampir bersamaan juga seorang anggota tentara berlari kearah
semak-semak dan masyarakat yang terpancing mengejarnya. Tiba-tiba dari arah
semak itu terdengar satu letusan senjata. Letusan senjata itulah yang seperti
sebuah "komando" disusul oleh rentetan serangan. Pembantaian segera
dimulai. Tepat jam 12.30 WIB.
Pukul 12.30 WIB, Suara gemuruh dan teriakan manusia
memenuhi Simpang KKA. Ribuan orang berlarian menghindari serangan dari TNI. Dua
wartawan RCTI (Umar HN dan Said Kaban) yang kebetulan sudah berada di tempat
itu sempat merekam moment-moment penting yang terjadi baik dengan foto atau
video. Dapat dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi salah-satu bukti yang
paling akurat dan tidak mungkin dapat dipungkiri tentang bagaimana peristiwa
yang sebenarnya.
Tembakan yang dilakukan tanpa peringatan terlebih
dahulu dan dengan posisi siap tempur. Tentara yang dibagian depan jongkok dan
yang berada pada barisan belakang berdiri. Selain itu, tentara yang berada di
atas truk juga terus melakukan tembakan sambil melakukan gerakan-gerakan
tempur. Saat itu penduduk yang tidak lagi sempat lari melakukan tiarap tapi
terus diberondong.
Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI juga
mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang sedang
di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan mereka mengejar dan memasuki
rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana.
Ketika melakukan tembakan para anggota tentara itu
juga berteriak-teriak. Kalimat yang paling sering diucapkan adalah "Akan
kubunuh semua orang Aceh". Dalam aksi pembantaian tersebut, 45 jiwa Tewas
di tempat, 156 lainnya Luka-luka kebanyakan karena luka tembak, dan 10
diantaranya Hilang sampai saat ini tidak tahu keberadaannya. Banyak penduduk
yang sudah tertembak dan tidak bisa lari lagi masih terus diberondong oleh
tentara dari belakang. Mereka benar-benar melakukan pembantaian seperti sebuah
pesta.
5. PEMBANTAIAN KAUM MUSLIMIN DI
BEUTONG ACEH TAHUN 1999 OLEH TENTARA INDONSIA
Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Suharto juga
melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau
Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman
rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan
Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat
luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang
berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Suharto
serendah-rendahnya.
Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki
The Killing Fields atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit
Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh
lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.
Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang
ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto, sehingga jika dijadikan
buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah
halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.
Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah
satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok
Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau
secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa
Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya
merupakan bukti.
Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti
lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden
setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang
Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini.
Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun
malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.
Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada
1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini
bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi
Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’,
Feri mengawali dengan kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup
panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong
bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang
Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok
untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang
terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan
jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit
Barisan…”
Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara
ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat
mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah
Aceh. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat
kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan
Aceh!
Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah
dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi
Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal
kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan
“TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang
sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah
pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang
hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak
heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai
pertahanan terakhir.
Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan
ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di
tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah
mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung
dengan sungai Beutong terlihat jelas.
Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang
Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah,
begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati.
Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan
juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan
pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap
di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk
mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang
tinggal di pesantren.
Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah
mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti
mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri
maupun orang banyak. “Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang
sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang
harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi
menjadi murid di sini,” tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian,
sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam
genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung
sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam
partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak
untuk yang lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang
berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985
dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.
Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah
dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan
Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren
sogokan” tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah
setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192
dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.
Ketika Habibie menggantikan Suharto dan
menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak
berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto.
Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok
bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya
harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa,
berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri
merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang
sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang diamandemen
di tahun 2002.
Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI
yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan Brimob
mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga
setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir
dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa
berbuat apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga
terjadi insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka
dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini
meresahkan warga.
Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli
1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati pesantren dengan
perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi
amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang
sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka
membakar rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu
jam kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam
tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat
kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan
berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui
mereka.
Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa
berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala nasehat dan ilmu agama.
Mendengar teriakan dari tentara yang menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun
datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka
merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di
lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.
Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta
agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena
memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul dan parang yang
sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya
dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang
di atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah
menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.
“Komandan pasukan memerintahkan agar antena
tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk
menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil
peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari
tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan
popor senapan,” tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul “Jubah Putih
di Beutong Ateuh”.
Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah
berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba tentara memberondongnya dengan
senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya syahid. Dengan
membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan tembakan ke
arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan.
Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan
ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta
berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh
Tengah, yang berada di tengah rimba.
Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri
diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang.
Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam
rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan
tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat
dugaan, para santri ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.
Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat
untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring menuju mushola yang
ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi penguburan. Aparat
bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan menghancurkan
semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran
dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah,
aparat bersenjata didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan
sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan
berdoa.
Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya
bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya, para santri yang
tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—membangun kembali
pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai
kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran,
kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga
barang-barang lain seperti seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan
sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku
pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke
pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai
pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur’an dan surat Yassin,
sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti
hukum Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas ulah mereka. Sama seperti guru mereka:
Jenderal Suharto.
Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara
jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap Muslim Aceh. Anehnya, sampai
detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun militer, yang
terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh
6.
PEMBANTAIAN KAUM MUSLIMIN DI POSO 2007
Operasi Poso 11 Januari 2007, Tanah Runtuh yang Terabaikan
Pada tanggal 10 Januari, berita utama koran
terkemuka di Sulawesi Tengah menulis, “24 DPO Segera Ditangkap”. Kepala Polisi
Daerah yang berdiri disamping Adnan Arsal dalam sebuah konferensi pers di Poso
sehari sebelumnya mengatakan kekerasan mungkin akan terpaksa digunakan jika
para tersangka menolak untuk menyerahkan diri.
Tetapi ia tidak mau mengatakan kapan dan bagaimana
hal itu akan dilakukan.( 24 DPO Segera Ditangkap”, Radar Sulteng, 10 Januari
2007) Ia memuji “upaya luar biasa” yang dilakukan Haji Adnan untuk membantu
berunding dengan keluarga DPO. Haji Adnan mengatakan bahwa pada prinsipnya
seluruh DPO bersedia untuk menyerahkan diri, tetapi mereka ingin memastikan
bahwa warga Kristen yang bertanggung jawab atas kekerasan di masa lalu terhadap
warga Muslim akan diadili pada waktu yang sama.( 24 DPO Segera Ditangkap”,
Radar Sulteng, 10 Januari 2007).
Dua hari kemudian, polisi melancarkan serangan. Jam
6.30 pagi, dua unit reaksi cepat Densus 88 yang masing-masing terdiri dari dua
belas orang, di back-up oleh dua unit Brimob, dengan kendaraan memasuki sebuah
jalan tak jauh diluar kompleks Tanah Runtuh.
Karena mereka memakai kendaraan truk biasa, awalnya
warga tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Tim tersebut bergerak cepat ke
rumah orangtua Basri, dimana tersangka utama diyakini sedang bersembunyi
disitu, dan ke sebuah rumah yang lain di jalan yang sama, dimana sekelompok
tersangka tidur diluar.
Mereka tidak berhasil menangkap Basri, tetapi
dirumah yang kedua, mereka menemukan tiga DPO, yaitu Dedi Parsan, Anang
Mayetadu alias Papa Enal, dan Paiman alias Sarjono, serta Abdul Muis dari JI
Palu, dan seorang bernama Supriady alias Upik Pagar.
Menurut warga setempat, Dedi saat itu sedang tidur
di sofa di ruang tamu. Ia ditembak lalu ditikam dibagian dada dan tangan kiri,
dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Polisi membantah kuat bahwa ia
ditusuk, tetapi warga mengatakan mereka punya foto jenazah Dedi. Polisi
mengklaim ia melawan penangkapan dan seorang anggota tim menembaknya di dada untuk
membela diri. Yang lainnya di rumah itu ditangkap.
Menurut versi lokal, Ustadz Rian keluar dari
Pesantren Ulil Albab untuk melihat apa yang sedang terjadi ketika ia mendengar
bunyi tembakan. Ia telah diberi instruksi oleh Adnan Arsal untuk mencegah polisi
memasuki sekolah. Ketika ia pergi untuk memukul tiang listrik, polisi
menembaknya di kepala. Seorang pengajar yang lain, yang merupakan warga
setempat bernama Ibnu, terluka.
Polisi mengatakan bahwa Rian keluar untuk menyerang
polisi dengan sebuah bom di tangannya dan bahwa mereka memiliki sebuah rekaman
video untuk membuktikannya, jadi ia juga ditembak polisi yang membela diri.
Karena cerita mengenai pembunuhan terhadap Dedi dan
Rian begitu berlainan dan kedua belah pihak yakin bahwa mereka lah yang benar,
maka perlu dilakukan sebuah penyelidikan yang mendesak dan tak berpihak. Sebuah
tugas yang dapat dilakukan oleh sebuah komisi penyelidik jika komisi jadi
dibentuk untuk memeriksa operasi polisi tanggal 22 Januari juga.( “Darah Tumpah
Lagi di Poso”, Radar Sulteng, 12 Januari 2007).
Empat orang yang ditangkap ketika Dedi terbunuh dan
dua orang lagi yang ditangkap diluar wilayah Tanah Runtuh yaitu Imran, 20, dan
Makruf Zainuri, dari Morowali, diterbangkan ke Palu.( “Darah Tumpah Lagi di
Poso”, Radar Sulteng, 12 Januari 2007) Tak seorangpun DPO utama yang
tertangkap.
Polisi menyita sebuah gudang senjata dari
rumah-rumah yang mereka gerebek, termasuk sebuah M-16, dua senapan, sebuah
pistol dan sebuah peluncur granat, kata mereka beberapa berasal dari Filipina;
duabelas pucuk pistol rakitan dan sebuah senapan rakitan; amunisi untuk seluruh
senjata diatas dan sejumlah bom rakitan, beberapa dipersiapkan oleh Sarjono.
Dibawah interogasi, Sarjono menurut laporan
mengakui bekerja dengan Taufik Bulaga untuk menyiapkan sejumlah serangan bom
dan memberinya detonator untuk bom Tentena.( “4 Kg Kalium Florat & 7 Bom
Lontong Tersangka Poso Disita”, Detik.com, 17 Januari 2007.)
Wakil Presiden Yusuf Kalla menghimbau masyarakat
untuk tidak menyalahkan polisi atas operasi penggerebekan tersebut, karena
semua langkah lain telah dilakukan dan tidak berhasil, tetapi seorang warga
mengatakan kepada wartawan: “Ini bukan operasi penegakan hukum; ini perang”(
“Warga Tuding Polisi Lakukan Penyerangan”, Radar Sulteng, 13 Januari.)
Siang itu, Dedy Hendra, 21, seorang anggota polisi
dari Cianjur, Jawa Barat, yang sudah bertugas di Poso sekitar setahun, lewat
dengan motor dinasnya bersama dengan pacarnya, ketika penguburan Ustadz Rian
sedang berlangsung. Ia berhenti untuk menghormati upacara pemakaman, namun
dikeroyok oleh para pelayat hingga tewas.
Pada tanggal 12 Januari, sehari setelah operasi
penggerebekan, tiga orang anggota polisi terluka di Poso dalam sebuah bentrokan
lain dengan tentara setelah bertengkar soal perempuan. Insiden tersebut
menggarisbawahi adanya masalah kerjasama antara TNI dan Polri di wilayah itu
dan memperlihatkan bahwa skenario mengenai oknum-oknum tentara menghasut warga
setempat untuk menyerang polisi adalah hal yang tidak mustahil terjadi.
Polisi terus mengepung Tanah Runtuh selama beberapa
hari. Selama akhir pekan 20-21 Januari, penduduk mengatakan bahwa mereka
mendengar ledakan dan bunyi tembakan dari waktu ke waktu. Dini hari tanggal 22
Januari, Densus 88 bersama dengan pasukan BKO Brimob bergerak menuju Jalan
Pulau Irian, lokasi operasi penggerebekan 11 Januari, dan daerah sekitarnya.
Ketika itu, tembakan dari dalam salah sebuah rumah menewaskan anggota Brimob,
Rony Iskandar, dan melukai beberapa yang lain.
Dengan helikopter melayang-layang diatas, polisi
balas menembak. Beberapa orang dari dalam rumah-rumah di jalan itu lari menuju
perbukitan dibelakang Tanah Runtuh; pada saat kejadian itu berlangsung beberapa
orang ditembak dan yang lain ditangkap. Operasi tersebut baru selesai pada saat
matahari terbenam. Satu orang dilaporkan meninggal setelah dibawa ke tahanan
polisi; beberapa saksi mata yang melihat jenasah Udin, adik Basri, mengatakan
ditubuh mayatnya terdapat luka-luka memar dan tidak ada luka bekas tembakan.
Korban tewas yang lain, diketahui adalah mujahidin,
meskipun tak satupun dari DPO. Beberapa anggota keluarga DPO termasuk diantara
yang tewas. Begitu juga beberapa mujahidin dari daerah lain. Tiga orang dari
Ampana, Muhammad Safri alias Andreas, Om Gam, dan Ridwan, baru tiba di Tanah
Runtuh hari Minggu; ketiganya tewas keesokan harinya. Seorang korban tewas yang
lain, seorang anggota Mujahidin Kayamanya bernama Icang, adalah salah seorang
dari beberapa anggota kelompok tersebut yang membela orang-orang Tanah Runtuh
untuk menunjukkan solidaritas.
Lebih dari duapuluh orang ditangkap dan sedang
diinterogasi mengenai peran mereka. Termasuk dua DPO, Wiwin Kalahe dan Tugiran.
Limabelas orang tewas untuk menangkap dua orang bukan sebuah rasio yang
mengesankan.
*Tulisan ini merupakan hasil laporan International
Crisis Group. Merupakan chapter 8 dari laporan berjudul Jihad di Indonesia,
Poso di Ujung Tanduk*
Sumber:
Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data,
Yogyakarta: Gema Insani Press via http://olgariki.multiply.com/.