Minggu, 05 Mei 2013

ASAS OPPORTUNITAS



“ASAS OPPORTUNITAS”
MERUPAKAN SALAH SATU ASAS PENTING DALAM
HUKUM ACARA PIDANA


Dibuat :
Mulyadi
20103124330057031
FH-UMT Jakarta

Abstraksi
Berawal dari ketidak puasan didalam kuliah lalu tentang mata kuliah HAPidana terjadi pro-kontrak tentang asas oportunitas, apakah asas tersebut masuk dalam asas-asas KUHAP atau tidak ? untuk itu hal ini perlu pengetahuan tentang sejarah asas oportunitas, definisi asas oportunitas, dan yang paling penting adalah dasar hokum yang kuat untuk menentukan apakah asas opotunitas masuk dalam asas-asas KUHAP atau tidak ?


A.    SEJARAH OPPORTUNITAS DI INDONESIA

1. Sebelum Zaman Kolonial
Di berbagai tulisan, pada waktu sebelum zaman pendudukan Belanda azar opportunitas tidak diketahui secara tertulis. Oleh karena di Indonesia pemerintahannya pada waktu itu masih berbentuk kerajaan, maka dapatlah dikatakan bahwa raja selalu mempunyai hak opportunitet, mengingat kekuasaannya sebagai raja atau Sultan.

2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Mengingat kekuasaan Gubernur Jenderal yang sangat besar di wilayah jajahan, maka ia dengan mudah menjadikan pasal 179 RO sebagai dasar pelaksanaan azas opportunitee, meskipun dalam analisa Andi Hamzah[1]menulis Pasal 32C Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi : “Jaksa Agung dapatmenyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”.
Sebelum ketentuan itu, dalam praktek telah dianut azas itu. Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negeri ini, sekalipun sebagai hukum tak tertulis yang berlaku.
Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179 RO yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan pasal itu dianut asas oportunitas di Indonesia, ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan dianut atas legalitas karena alasan di dalam pasal 179 RO itu kepada Hooggerechtshof dahulu diberikan kewenangan untuk, bila Majelis itu, karena pengaduan pihak yang berkepentingan atau secara lain mana pun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan-alasan untuk itu. Yang mengatakan dengan Pasal 179 RO itu dianut asas oportunitas karena pada ayat pertama pasal itu ditambah dengan kata-kata “kecuali jika penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah”.
Vonk mengatakan harus dibedakan antara oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai kekecualian. Dalam hal tersebut diatas merupakan pengecualian. E. Bonn-Sosrodanukusumo mengatakan bahwa waktu pembuat undang-undang tahun 1948 menyusun reglemen itu teristimewa Pasal 179, tidak ingat asas oportunitas dalam bentuknya yang sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa azas opportunitas tetap berlanjut pada zaman kolonial.

3. Zaman Jepang
Oleh karena pendudukan Jepang di Indonesia tidak begitu lama, hanya kurang lebih 3 ½ tahun saja maka tidak ada perubahan apapun terhadap perundang-undangan, kecuali penghapusan Raad Van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropah, sebagaimana dijelaskan oleh Andi Hamzah[2].

4. Zaman Kemerdekaan
Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945) keadaan Hukum Acara Pidana tidak ada perubahanpemakaian azas opportinitet dalam Hukum Acara Pidana, oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku bahkan kemudian dengan di Undangkannya Undang-Undang Pokok Kejaksaan Undang-Undang Nomor 15/1961, dalam Pasal 8, memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk menseponir/ menyampingkan suatu perkara berdasar alasan “Kepentingan Umum”[3].
Hal mana kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 32 ( c ), yang menyatakan bahwa : Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara ; yang lebih dipertegas lagi dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP[4],sebagai berikut : Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung (Penjelasan resmi pasal 77). Dengan dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal 77 yaitu berupa : “Yang dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung” maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan dari azas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan dari azas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1961 (Undang-Undang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan azas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.
Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalah gunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan azas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang melaksanakan azas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi.
Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan azas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan  dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi yang bersangkutan.
Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut dikemudian hari.
Dalam hubungan perwujudan azas oportunitas ini mungkin yang akan menjadi permasalahannya ialah sejauh mana kriteria “demi kepentingan umum” itu yang akan digunakan.
Dalam hubungan ini pertama-tama diperhatikan baik KUHAP maupun pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tidak memuat kejelasan apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” itu, maka sehubungan dengan itu kita harus perhatikan dalam praktek selama ini, yaitu bahwa dalam menyampingkan perkara yang menyangkut kepentingkan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tertinggi Negara yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang bersangkutan, antara lain seperti dengan MENHANKAM, KAPOLRI bahkan sering kali dengan Presiden. Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi.
“Maka jelas bahwa perundang-undangan kita hingga saat ini tetap menganut azas oportunitas”.

B.     PENGERTIAN ASAS OPPORTUNITAS
Perkataan opportunitas berasal dari kata-kata latin ini sangat luas artinya. Menurut kamus bahasa indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminto berarti ketika atau kesempatan yang baik. Menurut A.Z. Abidin Farid memberikan perumusan asas opportunitas sebagai berikut. “ Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.[5]
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.
Asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum, asas opportunitas diakui dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”.(Ramelan, 2006:10).
Penuntutan adalah permintaan Jaksa sebagai Penuntut Umum kepada Hakim, agar Hakim melakukan pemeriksaan perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan maksud apabila Hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan keputusannya tentang terdakwa.
Dikenal ada 2 (dua) prinsip yang dianut dalam wewenang penuntutan ini :
1. Opportiniteits Principe
2. Legaliteits Principe.
Ad.1 Opportiniteits Principe.
“Azas yang menentukan bahwa tidak setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut”.
Ad.2. Legaliteits Principe.
“Azas yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut”.
Sekarang timbul pertanyaan principe manakah yang dianut di Negara kita ?
Sampai sekarang sistem yang dianut oleh Negara kita adalah “ Opportiniteits Principe.”
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan undang-undang yang berlaku baik KUHAP maupun Undang-Undang Pokok Kejaksaan.


C.    DASAR HUKUM ASAS OPPORTUNITAS SEBAGAI SALAH SATU ASAS PENTING DALAM HUKUM ACARA PIDANA

1.      UUD 1945
Dalam penjelasan umum UUD 1945 alinea pertama : Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu undang-undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.
Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis yang berupa peraturan perundang-undangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis yang meliputi adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baik yang timbul dalam penyelenggaraan Negara maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan di hayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat.

2.      UU NO. 16 TAHUN 2004 Tentang Kejaksaan RI
Asas opportunitas diatur dalam Pasal 35c Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas opportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi sebagai berikut :
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat, mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat Badan-badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

3.      KUHAP
Keberadaan asas opportunitas dipertegas lagi dalam Pasal 14 huruf h, dan penjelasan Pasal 77 KUHAP sebagai berikut :
1.      Pasal 14 huruf h :
Penuntut umum mempunyai wewenang : “menutup perkara demi kepentingan hokum”.
2.      Penjelasan pasal 77 KUHAP : ”yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum (Asas Opportunitas) yang menjadi wewenang jaksa agung”.
Berdasarkan pasal 14 huruf h, dan penjelasan pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan azas oportunitas.
Sebelum ketentuan itu, “bahwa pada dewasa ini asas opportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negari ini, sekalipun sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku”.[6]
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” dalam deponering[7] perkara itu, pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan sebagai berikut :
“.......Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas opportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”.

4.      Doktrin / Ahli Hukum Indonesia
Pendapat Supomo yang mengatakan sebagai berikut :
“Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang disebut asas “opportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak
melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna kepentingan masyarakat.[8]
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bila dikatakan penuntut umum harus melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan pelaporan, ini belum berarti penuntut umum harus menuntut seseorang yang melakukan peristiwa pidana. Penuntut umum hanya diwajibkan mengusut perkara tersebut untuk mengetahui apakah laporan itu benar adanya. Tidak ditegaskan dalam ketentuan tersebut kalau penuntut umum harus melakukan penuntutan di muka hakim pidana. Sehingga ketentuan tersebut tidak melarang penuntut umum menganut prinsip oportunitas.
Memberlakukan azas oportunitas ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Appledorn bahwa tidak semua delik perlu dituntut pelakunya terutama bilamana akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum.

D.    KESIMPULAN

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai produk hukum nasional, memberikan wewenang penuntut perkara pidana kepada Jaksa selaku penuntut umum. Dalam persidangan Hakim sifatnya penunggu penuntutan yang diajukan oleh Jaksa. Jika menurut pertimbangan Jaksa dan demi kepentingan umum perkara sudah terselesaikan dengan uang damai, jaksa tidak perlu melakukan penuntutan ke Pengadilan. Inilah asas oportunitas yang dianut di Indonesia.

2.      Oportunitas bisa diartikan sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian. Indonesia sebagai penganut hokum dasar tertulis dan juga hukum dasar tidak tertulis yang berupa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan Negara maupun kebiasaan 100 yang diakui dan dihayati rakyat setempat. Setiap pelanggaran/delik pidana tidak semuanya dilakukan penuntutan oleh jaksa mengingat jumlah jaksa sangat terbatas, terutama perkara ringan yang bisa diselesaikan melalui pembayaran uang tebusan/ganti rugi/uang damai bisa dilakukan oleh unit-unit keamanan/ketertiban dan kepolisian yang mereka wajib lapor ke atasannya. Inilah oportunitas sebagai pengecualian.

3.      Asas oportunitas yang dilaksanakan melalui UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Ini adalah termasuk perkara berat/besar misalnya Korupsi yang jumlahnya lebih dari 1 (satu) trilyun, bisa dikesampingkan melalui kebijakan (policy) dan dilekatkan dengan syarat “perseponeran” yaitu pembayaran denda damai (termasuk pengembalian uang Negara) yang disetujui antara pihak kejaksaan dan tersangka.[9]

4.      Asas oportunitas sampai sekarang tidak pernah diganggu gugat keberadaannya ternyata asas ini memberikan manfaat pada kepentingan umum. Asas tersebut lebih sesuai dengan tujuan pidana dalam hal ini asas oportunitas bertujuan untuk mengimbangi ketajaman asas legalitas.

5.      Secara tersirat asas opportunitas terdapat dalam KUHAP dan juga Asas opportunitas merupakan asas yang berlaku secara tertulis dalam hokum acara pidana Indonesia.

E. DAFTAR PUSTAKA
1.      Prof. Dr. jur. Andi Hamzah,S.H, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Artha Jaya, Jakarta, 1996,hlm.15-16
2.      M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua,
3.      Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Penerbit Yayasan Pengayoman, Cetakan ke3.
4.      UUD 1945 & UU NO. 16 TAHUN 2004 tentang Kejaksaan RI & KUHAP


[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Artha Jaya, Jakarta, 1996,hlm.15-16
[2] Op-Cit Hlm.55
[3] M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, hlm. 37.
[4] Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Penerbit
Yayasan Pengayoman, Cetakan ke3, Jakarta, hlm. 88-89.
[5] Abidin Farid dikutip Andi Hamzah, 2008:17
[6] Lemaire dikutip Andi Hamzah, 2008:17
[7] artinya berkas perkara pidana tidak diteruskan ke pengadilan, dikenal juga penyelesaian perkara di luar sidang untuk perkara-perkara pidana ringan yang ancaman hukumannya denda. Deponering atau mengkesampingkan perkara. Deponering ini terjadi atas dasar asas Opportunitas yang masih dianut di Indonesia dan merupakan hak Jaksa Agung.
[8] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal 20, 2008:20
[9] Prof.Dr. Andi Hamzah, S.H “ Hukum Acara Pidana Indonesia”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar