“ASAS OPPORTUNITAS”
MERUPAKAN SALAH SATU ASAS PENTING DALAM
HUKUM ACARA PIDANA
Dibuat :
Mulyadi
20103124330057031
FH-UMT Jakarta
Abstraksi
Berawal
dari ketidak puasan didalam kuliah lalu tentang mata kuliah HAPidana terjadi
pro-kontrak tentang asas oportunitas, apakah asas tersebut masuk dalam
asas-asas KUHAP atau tidak ? untuk itu hal ini perlu pengetahuan tentang
sejarah asas oportunitas, definisi asas oportunitas, dan yang paling penting
adalah dasar hokum yang kuat untuk menentukan apakah asas opotunitas masuk
dalam asas-asas KUHAP atau tidak ?
A. SEJARAH
OPPORTUNITAS DI INDONESIA
1.
Sebelum Zaman Kolonial
Di berbagai tulisan, pada waktu sebelum zaman pendudukan
Belanda azar opportunitas tidak diketahui secara tertulis. Oleh karena di
Indonesia pemerintahannya pada waktu itu masih berbentuk kerajaan, maka
dapatlah dikatakan bahwa raja selalu mempunyai hak opportunitet, mengingat kekuasaannya
sebagai raja atau Sultan.
2.
Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Mengingat kekuasaan Gubernur Jenderal yang sangat
besar di wilayah jajahan, maka ia dengan mudah menjadikan pasal 179 RO sebagai
dasar pelaksanaan azas opportunitee, meskipun dalam analisa Andi Hamzah[1]menulis
Pasal 32C Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan dengan tegas
menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi :
“Jaksa Agung dapatmenyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”.
Sebelum ketentuan itu, dalam praktek telah dianut
azas itu. Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini asas
oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negeri ini,
sekalipun sebagai hukum tak tertulis yang berlaku.
Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179
RO yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan pasal itu dianut asas
oportunitas di Indonesia, ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan dianut
atas legalitas karena alasan di dalam pasal 179 RO itu kepada Hooggerechtshof
dahulu diberikan kewenangan untuk, bila Majelis itu, karena pengaduan pihak yang
berkepentingan atau secara lain mana pun, mengetahui telah terjadi kealpaan
dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol
Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan
hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan-alasan
untuk itu. Yang mengatakan dengan Pasal 179 RO itu dianut asas oportunitas
karena pada ayat pertama pasal itu ditambah dengan kata-kata “kecuali jika
penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan
dicegah”.
Vonk mengatakan harus dibedakan antara oportunitas
sebagai asas dan oportunitas sebagai kekecualian. Dalam hal tersebut diatas
merupakan pengecualian. E. Bonn-Sosrodanukusumo mengatakan bahwa waktu pembuat
undang-undang tahun 1948 menyusun reglemen itu teristimewa Pasal 179, tidak
ingat asas oportunitas dalam bentuknya yang sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa azas opportunitas
tetap berlanjut pada zaman kolonial.
3.
Zaman Jepang
Oleh karena pendudukan Jepang di Indonesia tidak
begitu lama, hanya kurang lebih 3 ½ tahun saja maka tidak ada perubahan apapun
terhadap perundang-undangan, kecuali penghapusan Raad Van Justitie sebagai
pengadilan untuk golongan Eropah, sebagaimana dijelaskan oleh Andi Hamzah[2].
4.
Zaman Kemerdekaan
Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945) keadaan
Hukum Acara Pidana tidak ada perubahanpemakaian azas opportinitet dalam Hukum
Acara Pidana, oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku bahkan kemudian dengan di
Undangkannya Undang-Undang Pokok Kejaksaan Undang-Undang Nomor 15/1961, dalam
Pasal 8, memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk menseponir/ menyampingkan
suatu perkara berdasar alasan “Kepentingan Umum”[3].
Hal mana kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor
5 tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 32 ( c ), yang menyatakan bahwa
: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara ; yang lebih
dipertegas lagi dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP[4],sebagai
berikut : Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang
Jaksa Agung (Penjelasan resmi pasal 77). Dengan dinyatakannya dalam penjelasan
resmi Pasal 77 yaitu berupa : “Yang dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan”
tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang
Jaksa Agung” maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan
dari azas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan dari azas
oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan
posisif di negara kita, yakni dalam KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam
Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1961 (Undang-Undang Pokok Kejaksaan) Pasal 8
secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan azas opportunitas, yaitu
kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan
yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan
pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.
Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan
pada Jaksa Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalah
gunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan azas oportunitas, sehingga dengan
demikian satu-satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang
melaksanakan azas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap Jaksa
selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku
Penuntut Umum tertinggi.
Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan
azas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan
dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada
yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat
dipergunakan sebagai alat bukti bagi yang bersangkutan.
Terhadap perkara yang dikesampingkan demi
kepentingan umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap
tersangka dalam perkara tersebut dikemudian hari.
Dalam hubungan perwujudan azas oportunitas ini
mungkin yang akan menjadi permasalahannya ialah sejauh mana kriteria “demi
kepentingan umum” itu yang akan digunakan.
Dalam hubungan ini pertama-tama diperhatikan baik KUHAP
maupun pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tidak memuat kejelasan apa
yang dimaksud dengan “kepentingan umum” itu, maka sehubungan dengan itu kita harus
perhatikan dalam praktek selama ini, yaitu bahwa dalam menyampingkan perkara
yang menyangkut kepentingkan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan
pejabat-pejabat tertinggi Negara yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang bersangkutan,
antara lain seperti dengan MENHANKAM, KAPOLRI bahkan sering kali dengan
Presiden. Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan asas
oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan
masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi.
“Maka
jelas bahwa perundang-undangan kita hingga saat ini tetap menganut azas
oportunitas”.
B. PENGERTIAN
ASAS OPPORTUNITAS
Perkataan opportunitas berasal dari kata-kata latin
ini sangat luas artinya. Menurut kamus bahasa indonesia karangan W.J.S.
Poerwadarminto berarti ketika atau kesempatan yang baik. Menurut A.Z. Abidin
Farid memberikan perumusan asas opportunitas sebagai berikut. “ Asas hukum yang
memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut
dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik
demi kepentingan umum.[5]
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum
sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini
disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal
dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik
diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut
umum.
Asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib
menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya
akan merugikan kepentingan umum, asas opportunitas diakui dalam Pasal 35
huruf c Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi
kepentingan umum”.(Ramelan, 2006:10).
Penuntutan adalah permintaan Jaksa sebagai Penuntut Umum
kepada Hakim, agar Hakim melakukan pemeriksaan perkara terdakwa di sidang
pengadilan, dengan maksud apabila Hakim setelah melakukan pemeriksaan akan
memberikan keputusannya tentang terdakwa.
Dikenal
ada 2 (dua) prinsip yang dianut dalam wewenang penuntutan ini :
1.
Opportiniteits Principe
2.
Legaliteits Principe.
Ad.1
Opportiniteits Principe.
“Azas
yang menentukan bahwa tidak setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu
harus atau wajib dituntut”.
Ad.2.
Legaliteits Principe.
“Azas
yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus
atau wajib dituntut”.
Sekarang
timbul pertanyaan principe manakah yang dianut di Negara kita ?
Sampai
sekarang sistem yang dianut oleh Negara kita adalah “ Opportiniteits Principe.”
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan undang-undang yang berlaku baik KUHAP maupun
Undang-Undang Pokok Kejaksaan.
C.
DASAR
HUKUM ASAS OPPORTUNITAS SEBAGAI SALAH SATU ASAS PENTING DALAM HUKUM ACARA
PIDANA
1.
UUD
1945
Dalam penjelasan umum UUD 1945 alinea pertama :
Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu
undang-undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun
tidak tertulis.
Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak
hanya hukum tertulis yang berupa peraturan perundang-undangan saja melainkan
juga hukum tidak tertulis yang meliputi adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
baik yang timbul dalam penyelenggaraan Negara maupun kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dan di hayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat.
2.
UU
NO. 16 TAHUN 2004 Tentang Kejaksaan RI
Asas opportunitas diatur dalam Pasal 35c Undang-Undang No.16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan
asas opportunitas itu dianut di
Indonesia. Pasal itu berbunyi sebagai berikut :
“Jaksa
Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat, mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas,
yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan
pendapat Badan-badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah
tersebut.
3.
KUHAP
Keberadaan asas opportunitas dipertegas lagi dalam Pasal 14 huruf h, dan penjelasan Pasal 77 KUHAP sebagai
berikut :
1. Pasal
14 huruf h :
Penuntut umum mempunyai wewenang : “menutup
perkara demi kepentingan hokum”.
2. Penjelasan
pasal 77 KUHAP : ”yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk
penyampingan perkara untuk kepentingan umum (Asas Opportunitas) yang menjadi
wewenang jaksa agung”.
Berdasarkan pasal 14 huruf h, dan penjelasan pasal
77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP
mengakui eksistensi perwujudan azas oportunitas.
Sebelum ketentuan itu, “bahwa pada dewasa ini asas
opportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negari ini,
sekalipun sebagai hukum tidak tertulis yang berlaku”.[6]
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” dalam deponering[7] perkara
itu, pedoman pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan sebagai berikut :
“.......Dengan demikian, kriteria demi kepentingan
umum dalam penerapan asas opportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk
kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”.
4.
Doktrin
/ Ahli Hukum Indonesia
Pendapat Supomo yang mengatakan sebagai berikut
:
“Baik
di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang disebut asas
“opportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang
tidak
melakukan
suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak
guna kepentingan masyarakat.[8]
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bila dikatakan
penuntut umum harus melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan pelaporan,
ini belum berarti penuntut umum harus menuntut seseorang yang melakukan
peristiwa pidana. Penuntut umum hanya diwajibkan mengusut perkara tersebut
untuk mengetahui apakah laporan itu benar adanya. Tidak ditegaskan dalam ketentuan
tersebut kalau penuntut umum harus melakukan penuntutan di muka hakim pidana.
Sehingga ketentuan tersebut tidak melarang penuntut umum menganut
prinsip oportunitas.
Memberlakukan azas oportunitas ini sejalan dengan
apa yang dikemukakan oleh Van Appledorn bahwa tidak semua
delik perlu dituntut pelakunya terutama bilamana akibatnya sangat kurang
berarti ditinjau dari segi kepentingan umum.
D.
KESIMPULAN
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai produk hukum nasional,
memberikan wewenang penuntut perkara pidana kepada Jaksa selaku penuntut umum.
Dalam persidangan Hakim sifatnya penunggu penuntutan yang diajukan oleh Jaksa.
Jika menurut pertimbangan Jaksa dan demi kepentingan umum perkara sudah terselesaikan
dengan uang damai, jaksa tidak perlu melakukan penuntutan ke Pengadilan. Inilah
asas oportunitas yang dianut di Indonesia.
2. Oportunitas
bisa diartikan sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian.
Indonesia sebagai penganut hokum dasar tertulis dan juga hukum dasar tidak
tertulis yang berupa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam
praktek penyelenggaraan Negara maupun kebiasaan 100 yang diakui dan dihayati
rakyat setempat. Setiap pelanggaran/delik pidana tidak semuanya dilakukan penuntutan
oleh jaksa mengingat jumlah jaksa sangat terbatas, terutama perkara ringan yang
bisa diselesaikan melalui pembayaran uang tebusan/ganti rugi/uang damai bisa
dilakukan oleh unit-unit keamanan/ketertiban dan kepolisian yang mereka wajib
lapor ke atasannya. Inilah oportunitas sebagai pengecualian.
3. Asas
oportunitas yang dilaksanakan melalui UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,
dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum. Ini adalah termasuk perkara berat/besar
misalnya Korupsi yang jumlahnya lebih dari 1 (satu) trilyun, bisa dikesampingkan
melalui kebijakan (policy) dan dilekatkan dengan syarat “perseponeran” yaitu
pembayaran denda damai (termasuk pengembalian uang Negara) yang disetujui antara
pihak kejaksaan dan tersangka.[9]
4. Asas
oportunitas sampai sekarang tidak pernah diganggu gugat keberadaannya ternyata
asas ini memberikan manfaat pada kepentingan umum. Asas tersebut lebih sesuai
dengan tujuan pidana dalam hal ini asas oportunitas bertujuan untuk mengimbangi
ketajaman asas legalitas.
5. Secara
tersirat asas opportunitas terdapat dalam KUHAP dan juga Asas
opportunitas merupakan asas yang berlaku secara tertulis dalam hokum
acara pidana Indonesia.
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.
Dr. jur. Andi Hamzah,S.H, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Artha Jaya,
Jakarta, 1996,hlm.15-16
2. M.
Yahya Harahap, SH., Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan
Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua,
3. Buku
Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Penerbit
Yayasan Pengayoman, Cetakan ke3.
4.
UUD
1945 & UU NO. 16 TAHUN 2004 tentang Kejaksaan RI & KUHAP
[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV
Artha Jaya, Jakarta, 1996,hlm.15-16
[2] Op-Cit Hlm.55
[3] M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan permasalahan dan
penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika, Edisi
Kedua, Jakarta, hlm. 37.
[4] Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman
Republik Indonesia, Penerbit
Yayasan
Pengayoman, Cetakan ke3, Jakarta, hlm. 88-89.
[5] Abidin Farid dikutip Andi Hamzah, 2008:17
[6] Lemaire dikutip Andi Hamzah, 2008:17
[7] artinya berkas perkara pidana tidak diteruskan ke
pengadilan, dikenal juga penyelesaian perkara di luar sidang untuk
perkara-perkara pidana ringan yang ancaman hukumannya denda. Deponering atau
mengkesampingkan perkara. Deponering ini
terjadi atas dasar asas Opportunitas yang masih dianut di Indonesia dan
merupakan hak Jaksa Agung.
[8] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal 20, 2008:20
[9] Prof.Dr. Andi Hamzah, S.H “ Hukum Acara Pidana Indonesia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar