UPAYA
YANG DAPAT DITEMPUH PENGGUGAT APABILA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YANG
INKRACHT VAN GEWIJSDE TIDAK DILAKSANAKAN OLEH GUBERNUR
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang Masalah
Indroharto pernah mengatakan bahwa “...kalau pihak-pihak atau lain-lain
Badan atau Jabatan TUN diberikan wewenang untuk menyingkirkan suatu Putusan
Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka hal itu praktis akan dapat membahayakan kelangsungan
hidup negara hukum kita”.[1]
Pernyataan kekhawatiran Indroharto tersebut sangat jelas menegaskan bahwa
betapa urgennya pelaksanaan suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
konteks kehidupan bernegara yang berlandaskan pada Rechtstaat.[2]
Konsekuensi logis dari maksud urgensitas putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam tataran ideal the rule
of law [3]
adalah keberadaannya tidak dapat diganggu gugat lagi. Oleh karena itu
pelaksanaannya harus di taati oleh siapapun juga termasuk pemerintah. Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam hal ini adalah putusan
pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde). Karena hanya putusan Pengadilan yang inkracht van
gewijsde yang dapat dilaksanakan.[4]
Terlepas dari keadaan ideal tersebut di atas, dalam kenyataannya mengenai
eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini, kita akan keliru apabila
berpendapat bahwa pengertian eksekusi diartikan sebagai eksekusi riil, seperti
halnya eksekusi putusan perkara perdata yang dapat dipaksakan melalui bantuan
pihak luar (ekstern) Pemerintah. Dalam putusan perkara TUN tidak mungkin
Pemerintah selaku pihak tergugat dipaksa dengan upaya paksa oleh sebuah badan
ekstern dalam proses eksekusi putusan TUN.
Mengenai kemustahilan ini bukanlah tanpa dasar. F.A.M Stroink
dan J.G. Steenbeek memberikan gambaran pembenaran terkait hal tersebut dalam pernyataannya, “De overheidsbevoegdheden (rechten en plichten)
zijn verbonden aan het ambt. Indien bij voorbeeld een burgemeester een bepaalde
beschikking afgeeft, wordt rechtens die beschikking afgegeven door het ambt
burgemeester, en niet door de natuurlijke person die op dat moment dat ambt
bekleedt, de ambtsrager”[5]
(kewenangan pemerintahan {hak-hak dan kewajiban} itu melekat pada jabatan. Jika
bupati/walikota memberikan keputusan tertentu, yang berdasarkan hukum, maka keputusan itu adalah diberikan oleh jabatan Bupati/Walikota, dan bukan oleh individu/orang yang pada
saat diberi jabatan, yakni Bupati/Walikota). Sehingga ada benarnya pendapat
Indroharto yang menyatakan, bahwa tidak mungkin terhadap pemerintah itu
diterapkan tindakan upaya paksa (misal : dengan bantuan jurusita) agar secara
pribadi melakukan suatu prestasi yang telah diputuskan dalam suatu putusan
pengadilan.[6]
Dengan paradigma hukum yang
sedemikian, membuka kemungkinan yang
sangat besar bagi timbulnya arogansi dari pejabat pengemban jabatan dalam
melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah inkracht van
gewijsde, karena memang tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5
Tahun 1986.[7] Sehingga
Prinsip peradilan TUN untuk menempatkan kontrol yudisial dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Karena tidak adanya kekuatan eksekutorial, sehingga
pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari Pejabat
TUN.
Setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN diadakan perubahan
dan penambahan materi muatan melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
perubahannya yang terbaru yaitu UU No. 51 Tahun 2009, khususnya mengenai
dianutnya teori kesalahan dalam pasal
116 ayat (4), yang merupakan
pengembangan dari Yurisprudensi Counsil d’Etat, yang memberikan garis
ketegasan untuk membedakan antara kesalahan dinas (Faute de serve) dan
kesalahan pribadi (Faute de personelle). Melalui pengembangan
yurisprudensi tersebut, sehingga kualifikasi bagi pejabat TUN yang tidak patuh dalam melaksanakan putusan PTUN, dinyatakan tidak
sedang melaksanakan peran Negara yang diberikan wewenang oleh jabatan,
akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan yang bersifat pribadi. Dengan demikian pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi
kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Berdasarkan Yurisprudensi Counsil d’Etat itulah
pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 mendapatkan dasar
argumentatifnya untuk memberikan kewenangan bagi hakim mencantumkan pengenaan
“uang paksa” dalam putusan yang amarnya
berisi materi yang sesuai dengan maksud pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yakni
dalam hal mencabut dan menerbitkan KTUN atau menerbitkan KTUN yang memberi hak.
Meskipun ketegasan putusan PTUN dengan mencantumkan
pengenaan “uang paksa” dalam upaya mengantisipasi maupun menindak pejabat TUN
yang tidak mau melaksanakan amar putusan PTUN
yang inkracht van gewijsde, akan tetapi pengaturan mengenai tata
cara pembayarannya belum diatur, untuk sementara mengenai tata caranya secara
analogi dianjurkan oleh Mahkamah Agung mengacu pada ketentuan dalam PP No.43
Tahun 1991 tentang Ganti Rugi Dan Tata
Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Di balik Ketegasan Pasal 116 ayat (4) UU No.51 Tahun 2009 ternyata masih
terdapat beberapa kelemahan, sehingga seolah-olah keberadaan pasal 116 ayat (4)
UU No.51 Tahun 2009 hanya sebagai basa-basi para elit politik untuk memenuhi
kriteria negara hukum, karena disamping tidak menentukan tata cara
pembayarannya secara pasti, juga pengenaan uang paksa ini praktis hanya
dimungkinkan berlaku pada perkara yang menyangkut kepegawaian.[8]
Sehingga timbul permasalahan mengenai bagaimanakah bila yang tergugat adalah
kepala daerah. Apakah hubungan pemerintah pusat maupun daerah jabatannya dapat
dikategorikan layaknya lingkungan kepegawaian agar dapat mengenakan sanksi
administratif.
Meskipun dalam kenyataannya perkara yang masuk di PTUN sampai saat ini
kira-kira 85 % dalam masalah pertanahan, dan belum ada kasus sengketa TUN,
dimana Gubernur sebagai tergugat tidak melaksanakan putusan PTUN, namun ini
tidak memupus kemungkinan pada suatu saat keadaan ketidak patuhan terhadap
putusan PTUN oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi faktual
dikemudian hari. Untuk mengantisipasi ini, maka perlu dideskripsikan upaya apa
yang dapat dilakukan penggugat untuk merealisasikan muatan hak yang terkandung
dalam putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Badan/Pejabat TUN yang inkracht
van gewijsde dan juga ketika surat penetapan dwangsom telah
dilayangkan serta pengumuman di media massa juga tidak diindahkan oleh pejabat
yang bersangkutan. Permasalahan itulah yang kurang lebih menjadi kajian dalam
laporan ini, dengan harapan dapat memberikan gambaran untuk mencapai suatu
pemerintahan yang baik yang selama ini masih sebatas utopia dalam kehidupan
bernegara di Republik Indonesia yang tercinta ini.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah
Presiden dapat menjatuhkan sanksi terhadap Gubernur yang tidak melaksanakan
Putusan PTUN yang inkracht van gewijsde?
2. Upaya
Lanjutan Apa yang Dapat Ditempuh Tergugat Dalam Hal Putusan yang Inkracht
van Gewijsde, dan Pasal 116 (4), (5), dan (6) Tidak Dilaksanakan Oleh
Kepala Daerah?
1.3. Tinjauan Pustaka
Perlindungan hukum dewasa ini sering dihubungkan dengan peran penting
Asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena pada dasarnya perlindungan hukum
dalam hukum publik (yang alam hal ini adalah hukum administrasi Negara) muncul
adalah karena konsekuensi yang ditimbulkan oleh adanya kewenangan diskresi atau
freies Ermessen kepada pemerintah yang memungkinkan pemerintah melakukan
tindakan hukum sepihak maupun berlaku umum yang menimbulkan akibat hukum,
seperti halnya mengeluarkan keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan.
Karena adanya kewenangan diskresi atau freies ermessen dari
pemerintah, maka diperlukan suatu perlindungan hukum terhadap seseorang atau
badan hukum perdata untuk menghindarkan kegiatan pemerintah yang menyimpang
dari tujuan diberikannya jabatan (detournement de pouvoir). Dalam hukum
administrasi dikenal dua perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum preventif
dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif dalam hal ini
rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang difinitif,
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Dalam praktik Administrasi
Pemerintahan, perlindungan hukum preventif dikenal dengan upaya administratif
atau administrative beroep, sedangkan perlindungan hukum represif
sifatnya bertujuan untuk menyelesaikan sengketa, biasanya dalam praktik
Administrasi Negara (dalam konteks kajian ini), dapat ditemukan dalam proses
beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam rangka perlindunan hukum yang bersifat represif, maka Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki suatu
batas Kompetensi dalam menerima suatu perkara. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara dikenal terdapat dua kompetensi yang dimiliki PTUN, yaitu kompetensi
relatif yang diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara
(selanjutnya Undang-undang No.5 Tahun 1986 ditulis UU/5/1986 saja) dan
kompetensi Absolut seperti ditetapkan dalam ketentuan pasal 47 yang menentukan
bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara.
Dalam rangka penegasan kompetensi absolut tersebut, yang dimaksud dengan
Sengketa TUN adalah sesuai dengan yang ditentukan oleh pasal 1 angka 10
UU/51/2009, yakni pengertian sengketa TUN secara garis besarnya adalah sengketa
yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Keputusan (beschikking) oleh
Badan/Pejabat TUN. Sedangkaan mengenai apakah syarat suatu Keputusan (beschikking)
dapat dilihat pada pasal 1 angka 9 UU/51/2009, yang unsur-unsurnya dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Suatu
Penetapan tertulis
2. Dikeluarkan
oleh Badan/Pejabat TUN
3. Berisi
tindakan hukum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
4. Bersifat
Konkrit, Individual, Final
5. Menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Beracara di PTUN dalam proses pemeriksaan perkara, hakim hanya
memperhatikan rechtmatigeheid saja, yaitu hanya melakukan pemeriksaan
apakah pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau tidak, sedangkan mengenai doelmatigeheid
bukanlah bagian dari pertimbangan majelis hakim dalam berperadilan di PTUN.
Dengan demikian rechtmatigeheid yang dimaksud adalah mengenai
kewenangan pejabat TUN. Kewenangan berasal dari kata “wewenang” yang oleh Robert Bierstedt diartikan sebagai institutionalized power (kekuasaan yang
dilembagakan).[9]
Begitu juga halnya dengan Bagir Manan yang memberikan penegasan lebih
rinci bahwa wewenang tidaklah sama dengan kekuasaan (macht) bila ditinjau dari bahasa hukum.
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan
wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Lebih rinci Bagir Manan menegaskan bahwa,
wewenang (bevoegheid) dalam makna
kekuasaan (macht) berbeda dengan
wewenang dalam makna tugas (taak) dan
hak (recht). Wewenang dalam makna
kekuasaan pada organ (organ),
sedangkan wewenang dalam makna tugas ada pada pejabat dari organ (ambstdrager). Dengan begitu maka kekuasaan
(power) dalam arti wewenang merupakan
kekuasaan yang ditentukan berdsasarkan suatu kelembagaan atau organnya,
misalnya, wewenang MPR, DPR dan Presiden.[10]
Kewenangan dalam administrasi Negara secara garis besar dapat dieroleh
dengan tiga cara pelimpahan, yaitu kewenangan yang timbul melalui cara
atribusi, kewenangan yang lahir dari cara delegasi dan kewenangan yang lahir
berdasarkan mandat. Namun akibat adanya kompetensi absolut dalam berperadilan
di PTUN, maka fokus perhatiannya adalah hanya pada kewenangan berdasarkan
atribusi dan kewenangan yang berdasarkan delegasi. Alasannya adalah karena
kewenangan membuat keputusan TUN hanya dapat diperoleh oelh badan/Pejabat
Administrasi Negara yang mendapatkan kewenangannya melalui dua cara delegasi atau
atribusi.[11]
Mengenai pengertian Atribusi dan delegasi dapat dikutip pendapat H.D. Van
Wijk, yang menyatakan bahwa Atribusi adalah wewenang yang melekat pada
suatu jabatan, sedangkan Delegasi adalah pemindahan atau pengalihan suatu
kewenangan yang ada.[12]
Mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Indonesia secara tegas menganut keyakinan negara kesatuan
dengan desentralisasi karena di titik beratkan pada otonomi daerah. Hal
tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18B ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 18 ayat (2), menentukan : “ Pemerintah Daerah . .
. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan“. Sedangkan Pasal 18B ayat (1), menentukan bahwa negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemrintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang “. Maka pemerintah
pusat yang memiliki kewenangan atribusi menyerahkan kewenangannya kepada
daerah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan delegasi untuk mengelola
wilayah pemerintahannya secara otonomi.
Pada negara kesatuan dengan desentralisasi, pembicaraan
mengenai kewenangan terkait dengan dua hal, yaitu :
1.
Urusan asli atau urusan yang
melekat kekuasaan/pemerintahan (original
powers, inherent powers) dan urusan bukan asli atau urusan bukan yang
melekat kekuasaan/pemerintahan (non
original powers, non inherent powers).
2.
Urusan yang disebut satu
demi satu atau urusan enumeratif, urusan terdaftar kekuasaan/pemerintahan (enumerative powers, listed powers) dalam
konstitusi dan/atau UU organic dan urusan sisa atau urusan yang tidak disebut
satu demi satu atau urusan tidak enumeratif, urusan tidak terdaftar
kekuasaan/pemerintahan (reserve of
powers, residual powers).[13]
Dalam
negara kesatuan dengan desentralisasi, yang dianut oleh Indonesia dimana urusan
numeratif (urusan yang disebut satu demi satu atau urusan terdaftar)
kekuasaan/pemerintahan dalam konstitusi dan/atau UU organik tersebut untuk
pemerintah pusat dan sisa atau urusan tidak enumeratif (urusan yang tidak
disebut satu demi satu atau urusan yang tidak terdaftar) kekuasaan/pemerintahan
dalam UU organik untuk pemerintahan daerah. [14]
Urusan untuk daerah yang sifatnya tidak enumeratif yang dimaksud merupakan
latar belakang pemberian otonomi daerah.
Otonomi
berasal dari kata latin “auto” yang artinya sendiri, dan nomoi
yang artinya undang-undang, sehingga secara gramatikal otonomi berarti membuat
undang-undang sendiri, sehingga bila kata otonomi disandingkan dengan suatu
kata adjektif tertentu dalam hal ini daerah, maka otonomi daerah adalah
undang-undang daerah sendiri. Dalam UU No. 32 tahun 2004 bahwa yang dimaksud
dengan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Di Indonesia otonomi daerah didasarkan pada ajaran Otonomi Riil, yaitu
ajaran yang menekankan pada suatu prinsip bahwa pemberian otonomi kepada daerah
otonom berdasarkan atas pertimbangan kondisi nyata dan kebutuhan serta
kemampuan dari daerah otonom untuk menyelenggarakan urusan tertentu, disamping
pertimbangan efisensi dan efektifitas. Penerapan ajaran ini ditempuh dengan
cara pemberian urusan pangkal pada saat terbentuknya daerah otonom tersebut dan
kemudian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keadaan dan kebutuhan nyata maka
urusan itu dapat ditambah atau ditarik oleh pemerintah pusat.
Dengan berdasar pada ajaran otonomi riil, maka pemerintah pusat terus
berkoordinasi dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah. bila suatu ketika
kepala daerah dalam hal ini Gubernur dalam kewenangan diskresinya mngeluarkan
keputusan TUN yang digugat di PTUN maka apabila Gubernur selaku Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan TUN kalah dalam pengadilan TUN, dan
putusan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, akan tetapi karena tanpa alasan
yang sah gubernur tidak melaksanakan putusan PTUN, maka menunjuk pada pasal 116
ayat (6) undang-undang no 51 tahun 2009 tantang perubahan kedua UU 5/1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka pemerintahan pusat sebagai
pemerintahan tertinggi yang dalam hal ini Presiden ditunjuk untuk memerintahkan
Pejabat TUN (Gubernur) untuk melaksanakan putusan PTUN.
Disamping itu, karena rangkaian ayat pasal 116 hanya menekankan pada
respon moral Pejabat Tata usaha Negara untuk melaksanakan putusan PTUN,
khususnya mengenai putusan PTUN yang amarnya terkait dengan pasal 97 ayat (9)
huruf b dan c UU 51/2009, maka kemungkinan Gubernur membangkang adalah besar
sekali akibat adanya kewenangan otonom di daerah. apabila Gubernur tidak
melaksanakan putusan PTUN setelah tenggat waktu yang ditentukan dalam pasal 166 ayat (3) dan (4), maka akan dilakukan
upaya paksa. Akan tetapi apabila upaya paksa ini juga tidak diperhatikan karena
kepentingan politis pribadi gubernur dan sebagainya, maka gubernur dapat
dikategorikan sebagai telah melakukan tindakan melawan hukum pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad).
Pada awalnya di Indonesia tidak dikenal suatu Perbuatan melangar hukum
oleh penguasa, yang ada hanya mengenai tindakan sewenang-wenang (willkeur)
dan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yang tidak bisa
disamakan dengan Perbuatan melanggar hukum penguasa (onrechtmatige
overheidsdaad, selanjutnya ditulis OOD). Akan tetapi dengan menyimak
pendapat Ishaq, yang garis besarnya menegaskan, bahwa penyimpangan terhadap
kaedah hukum pada umumnya dikenakan tindakan sanksi, keadaan penyimpangan
terhadap kaedah hukum seperti itu disebut oleh beliau sebagai penyelewengan (delikten),
yaitu penyimpanan hukum tanpa adanya dasar yang sah.[15]
Mengenai kasus OOD ini memang belum ada diatur secara tegas dalam UU
PTUN, akan tetapi setidaknya terdapat satu pasal yang paling dekat dengan
masalah OOD, yaitu dalam pasal 1365 KUHPerdata, yang meskipun hanya diatur
perbuatan melanggar hukum personal dengan personal mengingat kedudukan hukum
perdata adalah hukum mengenai masalah-masalah privat seeorang.
Djasadin Saragih memberikan penjabaran mengenai maksud pasal 1365
KUHPerdata tersebut sebagai berikut :
1.
Perbuatan yang sifatnya melanggar hukum karena
bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, melanggar hak orang lain, perbuatan
tersebut dianggap bertentangan dengan kesusilaan dan kehormatan,
2.
Tanpa perbuatan tersebut tidak akan menimbulkan
kerugian.
3.
Perbuatan hukum itu disebabakan karena kesalahan
pelakunya sendiri, artinya, orangnya tidak berhati-hati untuk menghindari
perbuatan tersebut.
4.
Gugatan kerugian yang diminta berupa ganti
kerugian pernyataan, dan perintah atau larangan hakim.
Kemudian mengenai Perbuatan Pemerintah yang melanggar hukum dapat
ditemukan dalam putusan No. 66K/Sip/1952, yang dimana Mahkamah Agung
berpendirian bahwa suatu peristiwa OOD adalah apabila perbuatan pemerintah itu
adalah sewenang-wenang atau merupakan yang tiada cukup anasir kepentingan umum.
Namun pengertian ini pada waktu itu masih dalam pro dan kontra, karena dalam
putusan tersebut menggunakan term “atau”, yang secara gramatikal adalah hanya
menyatakan salah satu saja yang berlaku, seharusnya kedua-duanya adalah
dimungkinkan agar valid.[16]
Kemudian dalam perkembangannya, pengertian OOD dapat disimpulkan sebagai tindakan yang di
luar “rechtmatigheid”. Dimana pada Putusan No. 838K/Sip/1970 Mahkamah
Agung merumuskan kriteria rechtmatigheid bagi tindakan penguasa apabila
:
1. Sesuai
Peraturan Undang-undang dan peraturan formal yang berlaku;
2. Sesuai
dengan kepatutan yang dipatuhi oleh masyarakat.
Dari kriteria rechtmatigheid yang dijabarkan dalam Putusan MA No.
838K/Sip/1970 tersebut, sehingga bisa digunakan sebagai batu uji suatu tindakan
OOD.
1.4. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
Tujuan Umum “Untuk
melatih menyatakan pikiran secara tertulis”
Tujuan Khusus “Sebagai bentuk penjawab rasa penasaran mengenai
kelemahan eksekutorial dari putusan TUN yang disandarkan pada ketentuan UU no.5
Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009.”
1.5. Manfaat
Penulisan
Manfaat dari makalah ini adalah memberikan kontribusi pemecahan atau
jalan keluar permasalahan yang ditemui khususnya dalam masalah putusan PTUN
yang tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan mengetahui upaya apa yang bisa
dilakukan oleh penggugat apabila ini menimpa perkaranya dikemudian hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Tindakan
Presiden Apabila Kepala Daerah yang Tidak Merealisasikan Hak Penggugat yang Termuat Dalam Amar Putusan
PTUN yang Inkracht van Gewijsde.
Dalam Hukum Administrasi Negara terdapat dua macam perlindungan hukum (rechtsbescherming),
yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif (sebagaimana
dikemukakan dalam tinjauan pustaka). Pembagian tersebut tidak terlepas dari
maksud yang terkandung dalam Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas
kepastian hukum. Untuk menjaga kepastian hukum itulah pada dasarnya
perlindungan hukum di realisasikan dengan penegakan hukum.
Dalam kajian ini akan terlihat lebih intens penekanannya pada
perlindungan hukum yang bersifat represif, karena konteks perlindungan hukum
dalam kajian ini dikaitkan pada deskripsi perbuatan melanggar hukum penguasa
atau Onrechtmatig Overheidsdaad (selanjutnya ditulis OOD) yang berarti
bukan lagi masuk dalam kompetensi administrative beroep, melainkan masuk
dalam kompetensi Pengadilan. Meskipun belum begitu tegas dapat diputuskan
pengadilan mana yang paling kompeten untuk menangani permasalahan OOD, namun
mengenai masalah OOD untuk kedepannya akan diatur dalam UU Administrasi
Pemerintahan, yang sekarang masih dalam Rancangan. Dimana dalam Pasal 45 ayat
(3) RUU Administrasi Pemerintahan menentukan, “Setiap pejabat Administrasi
Pemerintahan yang tidak melaksanakan upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam
pasal 43 ayat (6) dan ayat (8) dikenai pidana kurungan maksimal 3 (tiga) bulan
kurungan”. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah efektif diberlakuakan
kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Tingkat I, mengingat bahwa kedudukannya
berdasarkan pemilihan umum secara langsung, sama halnya dengan presiden, berarti
apakah dilakukan impeachment terlebih dahulu sebelum penjatuhan sanksi
atau bagaimana, pasal ini masih belum dapat dijamin kepastian hukumnya.
Terlepas dari permasalahan di atas, untuk sementara ini sambil menunggu
RUU Administrasi Pemerintahan disah-kan, maka hakim tetap berpijak pada UU
/5/1986 Jo. UU/9/2004 Jo. UU 51/2009. Perlindungan hukum represif dalam prosesi
peradilan administrasi, pemeriksaan perkara oleh hakim hanyalah bertolak ukur
pada rechtmatigheid karena hakim tidak berhak menggunakan tolak ukur
pada Doelmatigheid[17],
ketidak berhakkan ini berkaitan dengan konsekuensi dari pemisahan kekuasaan
antara yudikatif dan eksekutif, sehingga kewenangan hakim PTUN
hanya berhenti pada putusan yang memuat pertimbangan hukum hasil kajian
kriteria rechtmatigheid, setelah putusan dijatuhkan oleh majelis hakim
dan putusan tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap, maka hakim tidak
mungkin mengutus seorang jurusita untuk memaksa Kepala Daerah mematuhi Putusan
PTUN, agar terlaksana eksekusi putusan secara riil layaknya dalam kasus-kasus
perdata.
Meskipun J.B.J.M. Ten Berge pernah mengemukakan bahwa sanksi merupakan
inti dari penegakan hukum administrasi, yang istilah asingnya ‘in cauda
venenum’ artinya bahwa dibagian akhir kaidah hukum terdapat sebuah sanksi.
Akan tetapi pada umumnya tidak ada
gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi Pejabat TUN
dalam peraturan perundang-undangan Tata Usaha Negara, ketika aturan tingkah
laku itu tidak dapat dipaksakan oleh PTUN.[18]
Karena dalam PTUN yang dikenai sanksi bukan individu pejabatnya, akan tetapi
jabatannya.[19]
Dalam kepustakaan Hukum, suatu sanksi itu adalah sarana bagi penegakan
hukum selain pengawasan, maka sanksi sering dilekatkan pada suatu norma hukum
tertentu. Hanya saja dalam hal Administrasi Pemerintahan, suatu sanksi
administrasi hanya bisa dijatuhkan oleh pemerintah itu sendiri. Sehingga
permasalahan yang timbul adalah apakah mungkin Presiden menjatuhkan sanksi
administrasi pada Gubernur yang tidak melaksanakan putusan PTUN sebagai efek jera?
Bila mengingat Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya ditulis UU 32/2004, penulis) yang memberikan otonomi
seluas-luasnya untuk memberdayakan wilayah pemerintahan di daerah, dan bila
dibandingkan dengan esensi pasal 116 ayat (6) UU 51/2009, dimana dalam redaksi
pasal tersebut Presiden didudukkan sebagai pemegang pemerintahan tertinggi
namun kewenangan Presiden dalam pasal 116 ayat (6) tersebut hanya menyangkut
pada hal (peristiwa) Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN yang inkracht
van gewijsde hanya disebutkan dengan menggunakan term “memerintahkan”, yang sama sekali
tidak mengandung unsure sanksi.
Penegasan kewenangan Presiden secara Implisit dalam pasal 116 ayat (6)
demi memberi perlindungan hukum (dalam
masalah putusan yang tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah) Penggugat, maka
terlihat penegakan hukum lebih dikembalikan kepada pemerintah sendiri dalam hal
ini pemerintah atasan.[20]
Secara ketatanegaraan, kedudukan dalam pemerintahan selalu dalam hubungan yang
vertikal dan horisontal. Untuk menelusuri bagaimana tanggung jawab Presiden
(sesuai konteks kajian ini), atas kedudukan Kepala Daerah, maka kajiannya
sebatas dilakukan melalui dua penelusuran teoritis, yaitu tanggung jawab
dilihat dari bentuk Negara Republik Indonesia, dan Tanggung jawab dilihat dari
perpektif teori Kewenangan.
2. 1. 1.
Dilihat dari Bentuk Negara
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa “Negara Indonesia ialah Negara kesatuan, yang berbentuk republik”.
Dari sana maka di ketahui bahwa sistem administrasi pemerintahan Negara
republik Indonesia pada dasarnya bersifat sentralistik sesuai dengan
konsekuensi logis penganutan bentuk Negara kesatuan (eenheidsstaat atau unitary),
dimana kekuasaan tertinggi pemerintahan tetap berada pada kekuasaan pemerintah
pusat.[21]
Begitu pula halnya Shepherd L. Witmen dan John J. Wuest dalam gambarannya
menegaskan secara implisit bahwa implikasi dari Negara kesatuan terhadap sistem
kerja pemerintahan adalah senantiasa akan mengarah kepada sentralisasi, dengan
menyebutnya sebagai “Sistem Pemerintahan Kesatuan” (Unitary Sistems of
Government). Yang digambarkan sebagai berikut.[22]
Gambar
1. Susunan pemerintahan Negara kesatuan dengan desentralisasi
Namun seiring waktu dalam merealisasikan tujuan dari negara Indonesia
yang termuat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada
alinea keempat, yang menyebutkan,
“… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia….. yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permuyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”
Demikian pula dengan memandang suku dan kebutuhan yang beragam dalam
setiap daerah, serta mengingat juga bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan,
Sehingga Negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia haruslah memperlancar
jalannya pembangunan yang merata, oleh karena itu negara kesatauan Indonesia
haruslah menganut asas desentralisasi. Melalui desentralisasi, kemerataan
pembangunan dapat dilaksanakan secara merata. Maka lahirlah kedudukan
pemerintahan daerah di Indonesia, dimana terkait hal ini secara konstitusional
ditegaskan dalam pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Lebih lanjut mengenai Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (amandemen
2000), yang menentukan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu di bagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, …”. Dimana
pengaturan tersebut diulang penyebutannya pada pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, yang menentukan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota …”. Dengan pengaturan itu, tergambar suatu pemencaran kewenangan,
sehingga pengorganisasian NKRI dapat berupa koordinasi, pembinaan, dan
pengawasan dalam bidang administrasi dan kewilayahan. Astim Riyanto
menggambarkan hubungan pengoranisasian berupa koordinasi, pembinaan, dan
pengawasan itu sebagai berikut :[23]
Gambar 2. Hubungan wewenang antara Pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah berupa koordinasi, pembinaan, dan pengawasan dalam bidang administrasi
dan kewilayahan.
Hubungan koordinasi seperti gambar 2 di atas dapat dijumpai salah satunya
pada Surat Edaran Menpan Nomor B-471/I/1991 tentang pelaksanaan putusan PTUN
yang ditujukan kepada para menteri kabinet pembangunan pembangunan V, jaksa
agung, Gubernur Bank Indonesia, Sekretaris Jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara, para pimpinan lembaga pemerintahan non-Departemen & para Gubernur
kepala daerah. Surat itu mengemukakan :
“….Dalam kenyataan Putusan Pengaadilan Tata Usaha Negara tidak terlaksana
sesuai putusan. Hal ini mengundang berbagai opini di kalangan masyarakat yang
menimbulkan kesan bahwa aparatur Negara sebagai pejabat tata usaha negara tidak
mengindahkan dan tidak melaksanakan putusan pengadilan, bertindak
sewenang-wenang sehingga kehadiran Pengadilan Tata Usaha Negara dirasakan tidak
bermanfaat. Keadaan demikian tidak menguntungkan bagi upaya penegakan hukum dan
upaya menciptakan aparatur negara yang bersih dan berwibawa.
Berhubungan dengan itu kami mohon kiranya
saudara-saudara dapat mengingatkan kepada para Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan masig-masing untuk membantu kelancaran dan keberhasilan Pengadilan
Tata Usaha Negara dalam melaksanakan tugasnya yang sudah menjadi komitmen
nasional.
Untuk itu hendaknya Pejabat Tata Usaha Negara yang
digugat membantu kelancaran proses penyelesasian perkara gugatan dan
melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan dengan sebaik-baiknya.
Selanjutnya apabila pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak
mengindahkan putusan/penetapan pengadilan, hendaknya atasan atau pejabat yang
bersangkutan melakukan peneguran atau memerintahkan untuk pelaksanaannya….”
Dalam negara kesatuan Indonesia yang berlandaskan asas desentralisasi,
maka kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tidaklah terbagi
layaknya Negara serikat. Dalam Negara kesatuan (eenheidsstaat atau unitary)
kedudukan pemerintah pusat adalah pengendali dari pemerintahan daerah. Mengenai
argumentasi ini dapat dirujuk pasal 18 ayat (1) yang bila ditafsirkan secara a
contrario berdasarkan teori kewenangan (dalam hal ini delegasi), maka
didapat bahwa Dalam Negara kesatuan dengan desentralisasi pemerintahan daerah
hanya bagian dari pemerintah pusat berdasarkan pada pemencaran kekuasaan, bukan
pembagian kekuasaan yang seperti maksud bentuk Negara serikat.[24]
Begitu pula yang digambarkan oleh Astim Ryanto bahwa antara pusat dan daerah
memiliki hubungan vertikal atau hierarkis, sebagai berikut[25]
Gambar 3. Susunan
Negara Kesatuan dalam pengorganisasian Negara pada penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Melalui penjabaran tersebut nyata tergambar bahwa kedudukan pemerintah
daerah dalam hubungan ini, adalah subordinantie terhadap pemerintah
pusat.[26]
Dimana konsekuensinya adalah bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat, dalam hal ini presiden.
Pertalian antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah ini dapat
memberikan perlindungan hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena
dengan kekuasaan pemerintah pusat dalam hal administrasi dan kewilayahan yang
merupakan pemegang kewenangan yang sifatnya atributif dapat memerintahkan
kepada kepala daerah yang tidak menjalankan putusan PTUN yang inkracht van
gewijsde agar segera melaksanakan putusan PTUN.
Mengenai perlindungan hukum dalam hal ini, dapat dikutip pendapat
Sjachran Basah yang menyatakan : “…administrasi negara mempunyai kewenangan dan
warga memiliki hak, sedangkan sebaliknya warga serta administrasi Negara
memperoleh pula kewajiban. Oleh karena itu, pada kewenangan dan hak melekat
kewajiban, …” selanjutnya beliau menegaskan lebih normatif bahwa :
Mengikuti konstruksi hukum yang sedemikian, maka secara
konstitusional titik sentral kewenangan-kewajiban untuk administrasi Negara
dirumuskan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan bagi
warga ditetapkan oleh pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
Dengan demikian kedudukan antara hak seseorang dan kewenangan pejabat
administrasi mempunyai kekuatan konstitusional yang sama, karena masing-masing
diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, sehingga apabila hak seseorang yang dikuatkan dengan putusan Pengadilan
menuntut kepada pejabat administrasi (Gubernur) untuk manjalankan sesuatu
kewajiban sesuai pasal 97 ayat (9) UU 9/2004, maka Pejabat TUN harus
melaksanakan tuntutan tersebut sebagai kewajiban hukum.
Sehingga kewajiban presiden dalam Negara hukum materiil (welfarestate)
secara koordinatif adalah melakukan tindakan yang responsif dan menempatkan
rakyat di atas segala-galanya untuk mencapai kesejahteraan. Namun karena
kedudukan presiden dan gubernur dalam
neara kesatuan bukanlah hubungan antara atasan dan bawahan layaknya hubungan
kepegawaian, maka presiden tidak dapat mengenakan sanksi apapun kepada
Gubernur. Dalam keadaan ini Presiden
hanya dimungkinkan untuk memerintahkan atau melakukan pemanggilan kepada
gubernur untuk dimintai keterangan terkait tindakannya yang tidak melaksanakan
putusan PTUN yang telah inkracht van gewijsde, esensi yang sedemikian
rupa dianut dalam ketentuan pasal 116 ayat (6), dimana presiden selaku lembaga
eksekutif negara (secara sempit - presiden adalah pelaksana undang-undang)
hanya berkewajiban untuk “memerintahkan” Pejabat TUN untuk melaksanakan
Putusan. Di lain sisi dalam pengertian lebih luas, presiden dapat pula
melakukan tindakan yang lebih nyata, yaitu dengan melakukan pemanggilan
terhadap Gubernur yang bersandar pada kewenangan diskresi (freies Ermessen).
2. 1. 2.
Ditinjau dari perspektif teori kewenangan
Sesuai dengan yang disebutkan dalam tinjauan pustaka yang merupakan satu
kesatuan dalam laporan ini, maka yang dibahas adalah hanya kewenangan atributif
dan kewenangan delegatif.
Dari perspektif teori kewenangan (atribusi dan delegasi) maka haruslah
pula menimbulkan implikasi pada pengorganisasian administrasi baik dipusat, di
daerah, maupun antara hubungan pusat dan daerah yang sifatnya hierarkis antara
pemegang kewenangan atributif dan pemegang kewenangan delegatif (meskipun hanya
sebatas pembinaan dan pengawasan). Argumentasi tersebut merujuk pada pendapat
Indroharto yang menyatakan bahwa pada delegasi itu terjadi pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah
memperoleh wewenang secara atributif kepada badan atau jabatan Tata Usaha
Negara Lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi
wewenang[27]
Dari pernyataan Indroharto itu, terimplisit sebuah beban tanggung jawab
yang diemban pemilik kewenangan yang sifatnya atribusi atau asli yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 khususnya dalam hal ini DPR (pemilik
kewenangan legislasi) dan Presiden (pemegang kewenangan regulasi pemerintahan)
untuk melakukan pemantauan pelaksanaan wewenang yang diberkan kepada kepala
daerah. Dengan demikian maka DPR dan Presiden memiliki kewenangan untuk
memantau jalannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya
baik dalam bentuk legislasi DPR atau undang-undang maupun bentuk regulasi
berupa peraturan pemerintah dari presiden, karena bagaimanapun juga yang
menimbulkan kewenangan bagi delegataris (pejabat yang menerima wewenang,
dalam kajian ini adalah Gubernur) adalah DPR dan Presiden. Jika terjadi
penyimpangan maka badan yang paling pertama berkewajiban melakukan peneguran
kepada Gubernur adalah DPR dan/atau Presiden. Akan tetapi masih timbul
pertanyaan mengenai pasal 116 ayat (6) UU 51/2009 apakah yang dimaksud dewan
perwakilan rakyat itu DPR RI atau DPRD, begitu juga dalam penjelasannya tidak
dijelaskan mengenai hal tersebut.
Mengenai pertanggung jawaban presiden di atas bukanlah seperti halnya
pertanggungg jawaban oleh atasan kepada pegawai-pegawainya, karena dalam Algemene
wet Bestuursrecht (Awb) dinyatakan bahwa “het overdragen door een
bestuursorgaan van zijn bevoegheid tot her nemen van besluiten aan een ander
die deze onder eigen verantwoordelijkheid uitoefent”[28]
(pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil
keputusan dengan tanggung jawab sendiri). Ketentuan Awb ini oleh Ridwan
dianggap memiliki maksud bahwa dalam penyerahan wewenang melalui delegasi,
pemberi wewenang telah lepas dari tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak
ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Oleh sebab itu dalam masalah ini, Presiden tidak mungkin melakukan tindakan
represif melalui sanksi administratif kepada Gubernur, karena Presiden tidak
dalam hubungan kepegawaian dengan Gubernur. Begitu pula Philipus M. Hadjon
memberikan gambaran syarat-syarat pelimpahan wewenang secara delegasi, yang
menyiratkan secara tegas batas-batas bagi Presiden untuk melakukan intervensi
terhadap Gubernur, yang tidak memungkinkan Presiden menjatuhkan Sanksi
Administratif maupun pencabutan wewenang yang telah diberikan kepada Gubernur,
syarat-syarat itu sebagai berikut :
1.
Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans)
tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
Kecuali setelah ada pencabutan yang berpegang pada asas contrarius actus
2.
Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan
untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.
3.
Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam
hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi
4.
Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan),
artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan
wewenang tersebut.
5.
Peraturan kebijaksanaan (beleidsregel),
artinya Delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang pengunaan wewenang
tersebut.[29]
Dengan demikian maka pasal 116 ayat (6) UU 51/2009 memang tidak memiliki
arti apapun di mata Gubernur yang memang tidak mau menjalankan Putusan PTUN,
apalagi bila Individu yang memegang jabatan sebagai Gubernur dalam keadaan
akhir masa jabatan, maka Gubernur bisa saja acuh pada Putusan PTUN dan tidak
mau melaksanakannya, dan keacuhan tersebut tidak dapat dihentikan begitu saja
dengan pasal 116 UU PTUN, karena memang tidak begitu memiliki kekuatan
eksekutorial, semua ini dikembalikan kepada kesadaran Gubernur untuk mematuhi
putusan PTUN. [30]
Meskipun demikian, pencantuman pasal 116 ayat (6) tersebut memang perlu, untuk
menegaskan tanggung jawab Presiden selaku pelaksana tertinggi pemerintahan
Negara, yang dalam pasal 10 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan dalam huruf d bahwa
pemerintah pusat memegang urusan Yustisi.
Sejauh ini kajian dalam laporan ini, terdapat sebuah tendensi dalam pasal
116 (4), (5), dan (6) tidak mengandung norma hukum, akan tetapi justru
mengandung norma kesusilaan semata, sehingga pasal ini perlu dipertanyakan
apakah pantas disebut sebagai sanksi hukum TUN atau sebaliknya hanya sebuah
norma basa-basi TUN.
2.2. Upaya
Lanjutan yang Dapat Ditempuh Tergugat Dalam Hal Putusan yang Inkracht van
Gewijsde, dan Ketentuan Pasal 116 (4), (5), dan (6) Tidak Dilaksanakan Oleh
Kepala Daerah.
Secara formal, yaitu merujuk pada Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua UU PTUN (selanjutnya hanya ditulis UU/51/2009), bagi tergugat
yang dalam hal ini adalah Gubernur tidak mau melaksanakan putusan pengadilan
tata usaha Negara yang inkracht van gewijsde, khususnya mengenai putusan
yang amarnya menyangkut pasal 97 ayat (9) huruf b dan c UU/5/1986, yaitu yang
memerintahkan kepada badan atau pajabat tata usaha negara untuk mencabut KTUN
yang disengketakan dan menerbitkan KTUN baru
atau menerbitkan KTUN yang memberi hak pada pengguat, maka ketentuan
yang dapat digunakan sebagai landasan bagi penggugat untuk memohon kepada ketua
pengadilan adalah pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU/51/2009.[31]
Kriteria untuk memberlakukan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU/51/2009
adalah harus terlebih dahulu memenuhi maksud dari ketentuan pasal 116 ayat
(3)-nya, yang menetapkan jangka waktu kapan suatu putusan PTUN itu dianggap
tidak dilaksanakan. Dalam ayat (3)
UU/51/2009 tersebut ditentukan tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja
setelah putusan PTUN tersebut dinyatakan telah memiliki kekuatan hukum mengikat
(kracht van gewijsde) namun putusan belum dilaksanakan, maka badan atau
pejabat tata usaha Negara sudah dapat dinyatakan memenuhi maksud dari ketentuan
pasal 116 ayat (3) UU/51/2009.
Berdasarkan keadaan tersebut, pihak penggugat sudah dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara/ Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara yang mengadilinya dalam tingkat pertama agar memerintahkan kepada
tergugat untuk melaksanakan kewajiban untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha yang dimaksud dalam amar
putusan. Menurut Paulus Effendi Lotulung[32],
perintah dari Ketua Pengadilan tersebut berupa surat perintah yang dituangkan
dalam bentuk penetapan.
Jika Ketua Pengadilan telah memerintahkan kepada tergugat dan tergugat
tetap tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk menerbitkan keputusan Tata
Usaha Negara, maka terhadap yang bersangkutan dapat dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran upaya paksa dan/atau sanksi administratif.[33]
Namun dalam permasalahan lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan
Pengadilan Tata Usaha ini mendapat batu ganjalan lagi apabila uang paksa dan
sanksi administratif juga tidak mau diindahkan oleh badan atau pejabat tata
usaha Negara. Mengenai permasalahan ini menurut Yohanes Usfunan akan
mengakibatkan suatu putusan pengadilan tata usaha Negara itu mengambang (floating
execution)”[34]
Maka dalam perkembangan yurisprudensi, tindankan pemerintah sepertu keadaan ini
dapat disebut sebagai tindakan melawan hukum penguasa atau onrechtmatige
overheidsdaad (disingkat OOD).
Pada awalnya tidak ada peraturan yang mengatur mengenai permasalahan ini,
dan masih dalam perdebatan mengenai kepada siapa pembebanan uang paksa atau
ganti rugi akan dibebankan jika dilakukan gugatan tentang OOD. Apakah
jabatannya atau individu pejabat.[35]
Setelah ditelusuri, ternyata Putusan MA No.66K/SIP/1952 dalam perkara
KASUM, telah berusaha memformulasikan mengenai perbuatan melanggar hukum
penguasa, yang dalam putusannya menyatakan bahwa suatu tindakan yang bisa
disebut OOD apabila ada perbuatan
sewenang-wenang (willkeur) dari pemerintah atau merupakan tindakan yang
tiada anasir kepentingan umum. Namun pertimbangan ini masih sifatnya bias dan
terlalu luas, karena menurut MA, apabila adanya unsur kepentingan umum dalam
tindakan pemerintah maka dinyatakan bukan perbuatan melanggar hukum oleh
penguasa.
Baru pada tahun 1972, yaitu pada Putusan MA No.838/SIP/1972 dalam perkara
Josopandjoyo, ditegaskan lebih jelas tentang criteria rechtmatighed seperti
yang ditegaskan pada tinjauan pustaka dalam laporan ini, yang secara sifatnya
adalah merupakan lawan dari onrechtmatigheid overheidsdaad, sehingga
dalam poin tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria OOD adalah :
1.
Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa harus di
ukur dengan undang-undang dan peraturan formil yang berlaku.
2.
Harus diukur kepatutan dalam masyarakat dan
karenanya harus dipatuhi oleh penguasa.
3.
Penilaian tentang faktor sosial (dari penyewa
dan pemilik) adalah wewenang kepala daerah sebagai penguasa yang bukan termasuk
kompetensi pengadilan untuk menilainya, kecuali kalau wewenang itu dilakukan
dengan malanggar undang-undang dan peraturan formal atau melampaui batas
kepatutan dalam masyarakat yan harus diperhatikan oleh penguasa.
Dengan
adanya putusan MA No.838/SIP/1972 dalam perkara Josopandjoyo tersebut akhirnya
MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 25
februari 1977 Nomor MA/Pemb/0159/77 yang menyerukan kepada ketua Pengadilan
Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi Negeri se-Indonesia yang isinya antara lain
:
Dalam mengadili perkara di mana pemerintah digugat karena melakukan
perbuatan melanggar hukum hendaknya megadakan keseimbangan antara perlindungan
terhadap seseorang (individu) dan terhadap kepentingan persekutuan penguasa
Dengan demikian perlindungan hukum jelas disini, dimana kedudukan
seseorang dalam persengketaan KTUN yang dalam hal ini melawan Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara adalah sama dimata Pengadilan Tata Usaha Negara, hal ini
akhirnya diadopsi dalam UU PTUN yang memasukkan asas hakim aktif dalam proses
beracaranya, Namun kendala asas hakim aktif tersebut hanya berlaku dalam proses
beracara, tidak dalam hal eksekusi putusan pengadilan. Sehingga setiap tindakan
yang harus dilakukan oleh penggugat
adalah tindakan yang atas dasar pelaporan kepada ketua pengadilan dalam
upaya klaim hak sesuai amar putusan, sedangkan biaya yang dikeluarkan dalam
upaya ini ditanggung oleh penggugat sendiri terkecuali bagi acara yang
ditetapkan oleh Ketua PTUN sebagai perkara prodeo.
Walaupun di PTUN Denpasar, selama ini pelanggaran yang dilakukan oleh
Pejabat TUN adalah mengenai biaya pembayaran perkara saja, yakni apabila
tergugat dalam hal ini Pejabat TUN diputus kalah oleh ketua majelis hakim
(pasal 110 UU 5/1986), seharusnya pihak tergugat yang membayar uang perkara dan
keseluruhan biaya yang ada atau tersisa, akan tetapi sebaliknya yang membayar
pada kenyataannya adalah pengugat sendiri. Sedangkan untuk pelanggaran putusan
dengan tidak melaksanakannya selama ini belum ada, karena sebagian besar
perkaran yang masuk adalah 85%-nya terkait hal ihwal pertanahan.[36]
Dengan demikian telah terjadi budaya hukum yang membuat asas kepastian hukum
itu berjalan, dan hanya asas yang tidak berarti khususnya terkait pasal 110 UU
5/1986.
Namun menurut Pulung Hudo Prakoso[37],
dalam konteks nasional pelanggaran putusan TUN sangat marak terutama di
wilayah-wilayah yang masih terbelakang, baik dalam hal ekonomi maupun pemahaman
hukum, hal ini karena kekuatan eksekutorial putusan TUN hanyalah sebatas
memutus dan menjalankan peraturan perundang-undangan dan mencarikan keadilan
bagi justiciabelen dan pemerintah sebagai jalan keluar persengketaan
terkait KTUN yang dikeluarkan pemerintah, sehingga pelaksanaan putusan pada
dasarnya dikembalikan kepada kesadaran Pejabat/Tata Usaha itu sendiri dan
keaktifan pejabat atasannya dalam penegakan hukum putusan pengadilan.
Dari pernyataan tersebut, agar penggugat mendapatkan pelaksanaan
putusan yang dilanggar oleh Pejabat TUN dan dalam hal untuk mendapatkan ganti
rugi dan/atau kompensasi atas dilanggarnya putusan PTUN tersebut maka tindakan
Pejabat TUN yang melanggar putusan TUN tersebut bisa dikaitkan pada pasal 1365
KUHPerdata.[38]
SOLUSI
Untuk menghadapi perbuatan melanggar hukum penguasa dalam hal ini Kepala
Daerah (Gubernur), maka jalan yang paling mungkin untuk ditempuh dalam
menguatkan putusan PTUN tersebut adalah dengan mengajukan gugatan perdata ke
Pengadilan Negeri. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan perluasan makna pasal
1365 KUHPerdata, yang dikembangkan melalui yurisprudensi Counsil de’etat
Perancis yang memberikan garis ketegasan untuk membedakan antara kesalahan dinas (Faute de serve) dan
kesalahan pribadi (Faute de personelle). Melalui pengembangan
yurisprudensi Counsil d’Etat tersebut, sehingga kualifikasi bagi pejabat TUN yang tidak patuh dalam melaksanakan putusan PTUN, dinyatakan tidak
sedang melaksanakan peran Negara yang diberikan wewenang oleh jabatan,
akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan yang bersifat pribadi. Dengan demikian pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi
kepada pejabat TUN yang bersangkutan.
Dengan pembebanan kepada individu pejabat TUN tersebut sehingga
konskuensinya adalah Pejabat TUN tidak lagi bisa menggunakan alasan bahwa
perbuatannya adalah rechtmatigheid sesuai pemberlakuan yurisprudensi Counsil
d’Etat di Indonesia, terkecuali bagi tindakan pemerintah yang tidak
menjalankan putusan pengadilan didasarkan pada alasan yang membenarkan keadaan
pejabat TUN tersebut (dispensasi), misalnya dalam suatu Putusan TUN yang
amarnya menentukan untuk mencabut Surat Keputusan yang membuat kedudukan si A
dalam hal kepegawaian yang pada awalnya
sebagai kepala bagian, lalu berdasarkan SK yang dikeluarkan tergugat
mengakibatkan turun jabatan menjadi staf administrasi, dan pada waktu bersamaan
telah diangkat si C sebagai pengganti si A, maka apabila tergugat melaksanakan
putusan PTUN maka ini akan tidak adil bagi si C, dan hal itu dapat dijadikan
alasan bagi pejabat TUN untuk tidak melaksanakan Putusan, dengan catatan
pejabat TUN melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan penggugat dapat
menuntut biaya kompensasi.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Melalui penjabaran yang telah dilakukan dalam bab pembahasan maka
terdapat kesimpulan sebagai berikut :
1.
Bahwa presiden memiliki kewenangan untuk
melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan, berdasarkan apa yang diatur
dalam Undang-undang Otonomi Daerah dalam hal pemerintah daerah tidak mau
melaksanakan putusan pengadilan tata usaha Negara, dan presiden memiliki
kewajiban untuk melakukan peneguran kepala daerah untuk memberikan perlindungan
hukum kepada penggugat yang adalah orang atau badan hukum perdata yang
kedudukannya lebih lemah bila dibandingkan kepala daerah. Namun Presiden tetap
tidak dapat memberikan tindakan represif berupa sanksi kepada Gubernur,
sehingga tidak memberikan efek jera kepada Gubernur.
2.
Dalam hal eksekusi putusan PTUN, apabila tidak
dilaksanakan oleh pejabat TUN, maka dapat mengenakan pasal 116 ayat (4), (5),
(6), setelah memenuhi jangka waktu yang ditentukan oleh pasal 116 ayat (3),
apabila masih tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN dalam hal ini kepala daerah,
maka dapat mengajukannya ke peradilan umum, dengan dasar hukum pasal 1365
KUHPerdata, dengan gugatan ganti rugi.
Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil uraian permasalahan dalam
laporan ini adalah
1.
Pertama, Untuk penggugat dalam berperkara di
pengadilan Tata Usaha Negara, agar dalam petitum Gugatannya mencantumkan
permintaan upaya paksa untuk mengantisipasi putusan tidak dilaksanakan oleh
tergugat.
2.
Saran kedua, agar pembentuk peraturan
perundang-undangan segera menyempurnakan pasal-pasal UU PTUN khususnya terkait
masalah eksekusi putusan, dan memasukkan permasalahan OOD secara tegas sebagai
hukum positif, sehingga kemudian hari apabila ada pejabat TUN (Gubernur) yang
tidak menjalankan putusan PTUN agar bisa dilakukan penggugatan atau bahkan
penuntutan berdasarkan hukum pidana untuk mendapatkan saksi secara individu
bukan sebagai pemegang kewenangan atas jabatan, dengan demikian sifat eksekusi
akan lebih bersifat memaksa, dan dapat menimbulkan efek jera.
3.
Saran Ketiga, agar Eksekutif dalam hal ini
Gubernur tidak diberikan wewenang untuk mengeluarkan Keputusan yang sifatnya
Konkrit Individual dan Final terkecuali mengenai keadaan darurat tertentu, agar
mengurangi pengaruh politis pada sebuah keputusan.
DAFTAR
PUSTAKA
Asminah, Dewi, Pedoman Penghitungan Tenggang Waktu
suatu Keputusan yang Berkekuatan Hukum Tetap dikaitkan dengan eksekusi,
Makalah pada Pelatihan Teknis Fungsional
Peningkatan Profesionalisme bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim
Peradilan Militer se-Indonesia, tt, hlm.2.
Hadjon, Philipus. M, 2008, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian Administrative Law),
Cetakan Kesepuluh,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Logemann, J.H.A., 1954, Over de Theorie van een Stellig Staatrecht,
Penerbit : Saksama, Jakarta
Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan
Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2009.
Ridwan, H. R, 2008, Hukum Administrasi Negara,
Edisi 4, Rajawali Press, Jakarta.
Riyanto, Astim, 2006, Negara Kesatuan (Konsepsi,
Asas, dan Aktualisasinya), Cetakan I, Yapemdo, Bandung.
Soetami, A. Siti, 2007, Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, Cetakan Kelima, Refika Aditama, Bandung.
Stroink, F.A.M dan J.G. Steenbeek, 1985, Inleiding in het Staats-en Administratief Recht,
Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink.
Subawa, I Made, dkk, 2005, Hukum Tata Negara Pasca
Perubahan UUD 1945, Penerbit : Wawasan, Denpasar.
Wiyono, R, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
·
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
·
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
·
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
·
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah.
·
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang perubahan
pertama Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
Peradilan Tata Usaha Negara.
·
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang
perubahan pertama Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara.
[1]
Indroharto dalam Dewi Asminah, tt,SH, Pedoman Penghitungan Tenggang Waktu suatu
Keputusan yang Berkekuatan Hukum Tetap dikaitkan dengan eksekusi, Makalah
pada Pelatihan Teknis Fungsional
Peningkatan Profesionalisme bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hakim
Peradilan Militer se-Indonesia, hlm.2.
[2]
Penggunaan istilah Rechtstaat disini maksudnya adalah lebih
mengedepankan unsur materiil dari pengertian yang dikemukakan oleh F.J Stahl
yaitu dimana penulis mengedepankan segi independen dari esensi pemisahan
kekuasaan dalam tubuh kekuasaan negara (Trias
Politica), yang dalam hal ini adalah Lembaga Peradilan (yudikatif) yang
merdeka dan steril dari unsur lain kecuali bidang peradilan, yang membedakan
dengan eksekutif dan legislatif yang lebih intens dalam hal politik.
Sebagaimana kemerdekaan Yudikatif tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.
[3]
Penggunaan Istilah Rule of Law dalam ini menurut hemat penulis lebih
relevan untuk memberi penegasan bahwa eksistensi dari putusan pengadilan Tata
Usaha Negara adalah mendudukkan para pihak dalam kedudukan yang sama, yang
mendasari hakim untuk bertindak aktif (asas hakim aktif), karena terdapat
tendensi dalam realita bahwa kedudukan pemerintah lebih tinggi dari pihak
penggugat, sehingga asas yang diutamakan dalam kaitannya dengan masalah
kedudukan ini adalah equality before the law seperti sebagaimana diatur
dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
[4]
Vide pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
[5] F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het
Staats-en Administratief Recht, Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk
Willink, 1985, hlm.36. Terkait hal ini, Logemann juga memberi penegasan
“Het is dan door het ganse staatrecht heen het ambt, waaran plichten woerden
opgelegd, dat tot rehtshandelingen wordt bevoegd gemaakt. Plichten en rechten
werken door, ongeacht de wisseling der ambtsdragers”, terjemahan bebasnya
kurang lebih sebagai berikut ; Berdasarkan hukum tata Negara, jabatanlah yang
dibebani dengan kewajiban, yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak
dan kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat). Dalam
J.H.A Logemann, 1954, Over de Theorie
van een Stellig Staatrecht, Penerbit : Saksama, Jakarta, hlm. 89. lihat juga
Frederik Robert Bothlingk, 1954, Het Leersturk der Vertegenwoordiging en Zijn
Toepassing op Amsdragers in Nederland en in Indonesia, Juridische Boekhandel en
Uitgeverij A. Jongbloed & Zoon’s-Gravenhage, hlm. 36.
[6]
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm 243-244
[7] Kelemahan putusan PTUN ini terbukti
pada kasus Alzier Dianis Thabrani terkait konflik pilkada lampung tahun 2002.
Pada waktu itu Alzier menggugat 2 SK Menteri Dalam Negeri ke PTUN Jakarta, 2 SK
Mendagri itu yaitu; SK Mendagri Nomor 161.27-598 Tahun 2003 tertanggal 1
Desember 2003, tentang Pembatalan Keputusan DPRD Provinsi Lampung Nomor 01
Tahun 2003 tanggal 4 Januari 2003 tentang Penetapan Pasangan Terpilih Gubernur
dan Wakil Gubernur Lampung Periode 2003-2008 dan Surat Mendagri Nomor
121.27/2989/S tanggal 1 Desember 2003 tentang Pemilihan Ulang Gubernur/Wakil
Gubernur Lampung Periode Tahun 2003—2008. yang mengakibatkan Alzier sebagai
pemenang pilkada gagal dilantik. Dimana
dalam perkara ini akhirnya dimenangkan oleh Alzier (penggugat) melalui
proses panjang sampai pada upaya hukum Kasasi, dengan putusan MA Nomor
437-K/TUN/2004, maka terbit Surat PTUN Nomor. W2.TUN.PRK.010-242-2007 tanggal
11 Oktober 2007 perihal Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang Telah Berkekuatan
Hukum Tetap. Namun putusan PTUN tersebut tidak dapat terlaksana sampai masa
jabatan gubernur lampung yakni 2003-2009 habis, Alzier Dianis Thabrani tetap
tidak mendapatkan haknya sebagai pemenang Pilkada Lampung tahun 2002. Pelajaran
yang didapat dari kasus ini adalah betapa lemahnya kekuatan eksekutorial
putusan PTUN di hadapan pemerintah dan elite politik pemegang kekuasaan
pemerintahan.
[8]
Untuk lebih rinci lihat dalam, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Tata Usaha Negara, dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 tentang
Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,
Edisi 2009, hlm. 68-70.
[9]Firmansyah
Arifin et. Al. 2006, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerjasama dengan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, h.16.
[12]
Lihat H.D. Van Wijk dalam Ridwan H.R, 2008, Hukum Aministrasi Negara, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 104-105.
[13]Astim
Riyanto, 2006, Negara Kesatuan : Konsep, Asas, Dan Aktualisasinya, Lembaga
Penerbitan Yayasan Pembangunan Indonesia (Yapemdo), Bandung, h.149.
[14]
Ibid, h.150.
[15]
Lihat dalam Ishaq, 2008,Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 38.
[16] Selengkapnya lihat Philipus M.
Hadjon, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to
Indonesian Administrative Law), Cetakan Kesepuluh, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm. 310.
[17]
Menurut A. D. Belifante ‘De rechter, een buiten het bestuur staande, dus ook
geen bestuursverantwoordelijkheid dragende instantie’ (hakim adalah orang
yang berdiri di luar pemerintahan, artinya bukan instansi yang memikul
tanggungjawab pemerintahan), dan ‘De rechter niet op de stoel van de
administratie gaan zitten’ (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintahan).
Terkait dengan ini, Dyah Widiastuti, salah satu hakim PTUN Denpasar dalam
pemantapan teori pada hari keempat PKKH, juga menekankan hal yang hamper sama,
bahwa “Hakim hanya akan menilai peraturan perundang-undangan yang dilanggar,
sedangkan dalil penggugat tidak terlalu diperhatikan”.
[18]
Bandingkan dengan apa yang ditegaskan oleh Philipus M. Hadjon dalam, B. Arief
Sidharta, dkk, 1996, Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan Hukum dan
Pemerintahan yang Layak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 337.
[19]
Dalam Pasal 42 RUU Administrasi Pemerintahan disebutkan “Pejabat administrasi
pemerintahan atau badan bertanggung jawab dan terikat atas keputusan yang
ditetapkan dan tindakan yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya
sesuai dengan peraturan perundangan pada saat ditetapkannya keputusan
administrasi pemerintahan tersebut”, hal ini menandakan pula bahwa bukan
individu pejabat yang
[20]
menurut penulis, keberadaan pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) UU 51/2009 cenderung bersifat norma
kesusilaan, karena tidak ditemukan unsur norma hukum didalamnya, kecuali dari
segi bentuk formal pembentukan UU 51 tahun 2009 saja, yang dibentuk oleh
legislatif. Karena tidak memiliki sanksi apapun bagi gubernur bila tidak
dihubungkan dengan dikotomi sesuai counsil de’ etat yang membedakan kesalahan
dinas dan kesalahan individu, jika hanya mengedepankan alur birokrasi, maka
dalam hal ini peristiwa Gubernur yang tidak melaksanakan putusan PTUN tidak
dapat disebut sebagai peristiwa hukum,
karena dalam norma hukum terdapat kualifikasi yang definitif tentang
sanksi-sanksi bila suatu kepatutan dilakukan penyimpangan, sehingga penulis
lebih memilih untuk menyebut keadaan dimana Gubernur yang tidak melaksanakan
putusan PTUN sebagai peristiwa kesusilaan (moral) saja, sehingga untuk
menemukan esensi norma hukumnya maka harus dihubungkan dengan perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigheid) yang diatur oleh pasal 1365, dan
menegaskan bahwa perbuatan Gubernur tersebut bukan lagi disebut sebagai
pelaksanaan tugas kedinasan, akan tetapi sebagai pribadi yang sentimental.
[21]
Secara Umum Negara Kesatuan memiliki
unsur-unsur yaitu : (1) seluruh kekuasaan dipusatkan pasa satu atau beberapa
organ pusat, (2) tanpapembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, dan (3) pemerintah daerah hanyalah bagian pemerintah pusat
yang bertindak sebagai wakil-wakil pemerintahan pusat untuk menyelenggarakan
administrasi setempat. Lihat dalam Riyanto, Astim, 2006, Negara Kesatuan
Konsep, Asas, dan Aktualisasinya, YAPEMDO, Bandung, hlm.139.
[22]
Lihat dalam, Sheperd L. Witman and John J. Wuest, 1963, Visual Outline of
Comparative Government, Littlefield, admas & Co., Paterson, New York,
hlm.hlm. 3.
[23]
Astim Riyanto, Op. cit. hlm. 412.
[24]
Hal ini dapat pula di kaitkan dengan pendapat M. Solly Lubis yang mengemukakan
“… organ-organ pemerintah pusat ini, dapat melimpahkan (menyerahkan, penulis)
kekuasaannya kepada pemerintah daerah. Dalam suatu Negara kesatuan, pelimpahan
(penyerahan, penulis)… kekuasaan itu bukanlah sedemikian rupa, sehingga
merupakan pemberian kekuasaan yang lepas sekali, sehingga merupakan pemberian
kekuasaan yang lepas sekali tanpa campur tangan dan kontrol (atau pengawasan,
penulis) dari pemerintah pusat”, lihat selengkapnya dalam M. Solly Lubis, 1991,
Asas-asas Hukum Tata Negara, cetakan kedua, PT Alumni, Bandung, hlm. 149.
[25] Astim Ryanto, Op.cit, hlm 318.
[26]
M. Solly Lubis, 1978, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-Undangan Mengenai
Pemerintahan Daerah, Cetakan kedua, PT Alumni, Bandung, hlm. 24.
[27] Indroharto, 1993, Usaha Memahami
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 91.
[28]
Afdeling I A. 1.2 Algemene Wet Bestuursrecht 1992.
[29]
Philipus M Hadjon Dalam Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 107-108.
[30]
Hasil wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian
Umum dengan Pulung Hudo Prakoso, Hakim di PTUN Denpasar.
[31]
Mengenai Proses yang bisa ditempuh terkait pasal ini dapat dilihat pada Lampiran
A1 dalam laporan ini.
[32]
Lihat Paulus. E Lotulung, dalam R. Wiyono, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 235.
[33]
Untuk pemberlakuan sanksi administrtif hanya berlaku terhadapat perkara yang
terkait dengan bidang kepegawaian.
[34]
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang dapat Digugat, Penerbit :
Djambatan, Jakarta, hlm. 84.
[35]
Hasil wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian
Umum dengan Pulung Hudo Prakoso, Seorang Calon Hakim di PTUN
Denpasar.
[36]
Hasil wawancara Pada hari
selasa, 15 desember 2009 di ruangan panitera muda hukum, dengan Bpk drs. Anak
Agung Gede Sedana selaku Jurusita Pengganti dan Bpk Nyoman Sujana, SH selaku
panitera pengganti di PTUN Denpasar.
[37]
Hasil wawancara pada hari selasa, tanggal 29 Desember 2009, di ruangan Bagian
Umum dengan Pulung Hudo Prakoso, Seorang Calon Hakim di PTUN
Denpasar.
[38]
Dyah Widiastuti, salah satu hakim PTUN Denpasar, pemaparan ini disampaikan
dalam pemantapan teori pada hari pertama minggu kedua PKKH di PTUN Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar